Pegawai Artha Graha Peduli memasang panel di pintu masuk Paviliun Indonesia. TEMPO/Untung Widyanto
TEMPO.CO, Paris - Paviliun Indonesia di arena Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (COP21) di Paris, Prancis, Senin, 30 November 2015, menuai kontroversi.
Paviliun ini mengambil tema “Solution to Climate Change”. Hingga hari terakhir konferensi, bakal ada 47 diskusi dan seminar di paviliun ini, termasuk yang akan dihadiri mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Desember 2015.
Menjelang hari pembukaan, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat menyayangkan kehadiran sejumlah perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri, yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, sebagai sponsor Paviliun Indonesia.
Mereka menuduh perusahaan-perusahaan itu mendominasi Paviliun Indonesia dan berusaha melakukan green washing atau pencitraan dengan menonjolkan upaya konservasi agar tuduhan kejahatan lingkungan pada perusahaan tersebut tidak muncul.
Namun tudingan itu dibantah panitia. “Itu tidak benar. Dari sesi-sesi diskusi bisa dilihat ada keragaman para pihak dalam acara,” kata penanggung jawab Paviliun Indonesia, Agus Justianto, Minggu, 29 November 2015. Menurut dia, para kontributor dan donatur membantu Paviliun Indonesia tanpa mencantumkan logo sponsor.
Bantuan dari swasta diterima, kata Agus, karena dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak boleh dikeluarkan untuk membiayai pembangunan Paviliun Indonesia. Alhasil, panitia atau event organizer mencari dana dari dunia usaha. Kabarnya, biaya yang keluar sekitar Rp 6 miliar.
Agus mengakui salah satu sponsor adalah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit, lembaga yang baru dibentuk pemerintah yang diketuai Bayu Krisna Murti. Sayangnya, dia tidak menyebutkan perusahaan lain yang menjadi donatur.
Di lokasi paviliun, tampak beberapa pegawai Artha Graha Peduli. Mereka sibuk mempersiapkan pameran. Brosur Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC) juga disebar kepada pengunjung paviliun dengan tulisan: “Ini kawasan konservasi hutan seluas 45 hektare dan laut seluas 14 hektare di Provinsi Lampung. Kawasan ini dibangun Tommy Winata, pemilik Grup Artha Graha.”
Sampai saat ini, konfirmasi dari pihak Artha Graha masih diupayakan redaksi.