Tim DVI melakukan olah tempat kejadian perkara kasus tindak kekerasan kepada dua warga penolak tambang pasir di Balai Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. TEMPO/David Priyasidharta
TEMPO.CO, Lumajang - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapat laporan bahwa dampak psikologis penganiayaan terhadap aktivis antitambang di Lumajang, Salim alias Kancil dan Tosan, tidak hanya dialami anak korban, tapi juga anak-anak pelaku.
Komisioner KPAI, Susanto mengatakan tengah mendalami dampak pembunuhan secara terbuka di depan anak-anak itu terhadap perkembangan jiwa mereka. "Sedang kami dalami bagaimana dampaknya pada anak-anak, karena penyiksaan dilakukan di depan anak-anak TK dan PAUD," ujarnya, Sabtu kemarin, 10 Oktober 2015.
Susanto menuturkan informasi yang dia terima, beberapa anak tidak masuk sekolah hingga sepekan karena masih trauma. Mereka bukan hanya anak korban, namun juga anak-anak pelaku penganiayaan dan pembunuhan. "Hasil factfinding kami rekomendasikan kepada pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan, agar masalah ini diberi atensi khusus," kata dia.
Menurut Susanto anak Tosan satu kelas dengan anak pelaku. Di sisi lain, anak Salim Kancil yang masih kelas 5 sekolah dasar satu sekolah dengan anak Kepala Desa Selok Awar-awar Hariyono. Hariyono diduga otak di balik pembunuhan Salim. "Data sementara yang kami dapatkan adalah memang ada perbedaan sikap siswa yang bersangkutan antara sebelum kejadian dan setelah kejadian, yakni cenderung pendiam, bengong dan tiba-tiba tertutup," katanya.
Rekomendasi awal yang dikeluarkan KPAI ialah pihak sekolah harus memastikan anak-anak, baik keluarga pelaku maupun korban, tetap bisa bersekolah secara aman, nyaman dan berinteraksi secara wajar. Karena itu guru diharapkan melakukan pendampingan secara sistematis. "Agar jangan sampai ada balas dendam, tidak boleh ada rasa saling membenci di hati anak-anak" katanya.
Susanto mempersilakan proses hukum atas kasus tersebut tetap berlanjut, namun tanpa mengikutkan psikologis anak. Yang penting lagi, kata dia, interaksi sosial di antara anak-anak pelaku dan korban harus diperkuat agar tidak ada segregasi dan pemisahan. "Kalau terjadi pemisahan, secara psikologis akan menimbulkan dampak negatif bagi perkembangan anak," katanya.
Sebab Susanto juga mengaku menerima laporan bahwa anak salah seorang pelaku mulai menerima bullying dari teman-temannya. Misalnya dicibir dengan kata-kata 'bapakmu dihukum.' Susanto meminta agar hal semacam itu disetop. "Jangan sampai anak terikutkan dalam proses hukum yang berlangsung," katanya.