Kampus Penjual Ijazah Bodong di Surabaya Diincar Polisi
Editor
Zacharias wuragil brasta k
Kamis, 10 September 2015 21:55 WIB
TEMPO.CO, Surabaya - Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) terus memburu perguruan tinggi yang menerbitkan ijazah palsu. Melalui Satuan Tugas Pemberantasan Ijazah Palsu, Kementerian juga menyatakan tak akan ragu menutup kampus dan mengadili rektor bermasalah.
“Tim kami sedang turun ke lapangan. Kalau terjadi fraud atau penjualan ijazah palsu, saya akan tutup,” ujar Menristek-Dikti Muhammad Nasir kepada wartawan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kamis, 10 September 2015.
Nasir menjelaskan Kemenristek-Dikti menjalin kerja sama dengan kejaksaan tinggi, kepolisian, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam satgas tersebut. Sejauh ini, dia mengungkapkan, satu perguruan tinggi di Singaraja, Bali, dan satu lainnya di Medan, Sumatera Utara, telah menjadi korban.
"Intinya, jalan terus. Semua perguruan tinggi yang merugikan masyarakat harus habis,” katanya.
Nasir membedakan kasus kampus yang bermasalah yang diakui ditangani dengan cara yang lebih lunak. Contoh kasus ini, Nasir menyebutkan, pembekuan sejumlah perguruan tinggi di Jawa Timur, yakni Universitas Nusantara PGRI Kediri, Universitas Ronggolawe Tuban, IKIP PGRI Jember, dan IKIP Budi Utomo Malang.
Terhadap keempatnya, Kemenristek-Dikti memilih membekukan untuk kesempatan pembenahan manajemen. “Kami bina, kami cek dulu masalahnya. Kalau sumber masalahnya dari rektor, rektornya yang saya suruh berhenti,” tuturnya.
Nasir menyatakan telah memecat dua rektor kampus bermasalah itu, yakni Rektor Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Universitas Ronggolawe Tuban. "Diberhentikan karena tidak mau memperbaiki sistem dan terbukti melanggar," ucapnya.
Mantan Rektor Universitas Diponegoro Semarang itu maklum jika kemudian masyarakat menjadi ragu-ragu dalam memilih kampus-kampus bermasalah sebagai tempat berkuliah. Itu artinya masyarakat betul-betul perhatian memilih perguruan tinggi. "Yang nonaktif tidak dipilih, karena itu berarti perguruan tingginya bermasalah.”
ARTIKA RACHMI FARMITA