Putri Sulung Gus Dur Bantah Ada Perpecahan di Tubuh NU
Editor
Nurdin Saleh TNR
Kamis, 6 Agustus 2015 02:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Alissa Qotrunnada Munawaroh Rahman atau biasa disapa Alissa Wahid, putri sulung Abdurrahman Wahid, membantah adanya perpecahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Menurut dia, Muktamar NU kali ini, yang berlangsung di Jombang, tak sebanding dengan Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada 1984 dan Muktamar NU ke-29 di Cipasung pada 1994.
"Saya tidak memungkiri memang ada perbedaan pendapat, tapi muktamar ini tidak seberat di Cipasung, yang pada saat itu sampai mengerahkan kekuatan militer dan ada intervensi penguasa," kata Alissa saat dihubungi Tempo, Kamis, 6 Juli 2015.
Ia menuturkan, sebagai organisasi yang lebih bersifat paguyuban, perbedaan pendapat adalah hal biasa. "Corak dasar NU adalah egaliter sehingga wajar jika masing-masing dengan leluasa mengemukakan pendapat, berbeda dengan organisasi yang lebih bersifat rigid dan top-down," kata Alissa, yang juga Ketua Musyawarah Kaum Muda NU, dalam Muktamar ke-33 ini. Bahkan pada masa sebelum reformasi, kata dia, para kiai saling menggebrak meja untuk menentukan fatwa merupakan hal biasa.
Alissa mengatakan masyarakat dan media harus memahami bahwa NU adalah asosiasi kiai. "Jadi semua kedudukannya sama. Konsekuensinya, wajar jika terjadi perbedaan pendapat karena masing-masing merasa memiliki hak yang sama," katanya. Alissa juga mengatakan ada sebuah dalil NU yang menyebutkan perbedaan pendapat pemimpin adalah rahmat bagi umat.
Menurut Alissa, ketegangan dalam forum tak pernah merembet ke hubungan persaudaraan dalam tubuh NU. "Biasanya berakhir happy ending, para kiai tahu sikap yang harus diambil. Selepas ini sudah ketawa-tawa lagi, sudah berpelukan," katanya. Terlebih, kata dia, para kiai memahami bahwa NU adalah organisasi besar yang rawan disusupi kepentingan jika para kiai berlarut-larut dalam ketegangan.
Ia menduga masyarakat kaget akan suasana Muktamar NU yang berbeda dengan Muktamar Pengurus Pusat Muhammadiyah. "Mungkin terasa beda karena kebetulan berbarengan dengan Muktamar Muhammadiyah, yang terasa lebih sistematis," katanya. Alissa mengatakan NU perlu belajar dari Muhammadiyah dalam mengelola muktamar yang lebih sistematis, tanpa meninggalkan kearifan khas NU yang telah terbina.
DINI PRAMITA