Sejumlah Pegawai KPU saat mengikuti simulasi pemungutan dan penghitungan suara TPS dalam pemilihan kepada daerah (Pilkada) serentak, di Gedung Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, 7 April 2015. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO , Jakarta - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat meminta Komisi Pemilihan Umum mempermudah syarat calon kepala daerah independen dalam Pilkada selanjutnya. Hal ini diperlukan untuk mengantisipasi penundaan Pilkada akibat calon tunggal.
"Ke depan, perlu ada revisi Undang-undang untuk menurunkan syarat calon independen, misalnya dukungan KTP diperkecil," kata Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin, 3 Agustus 2015.
Menurunkan persyaratan calon independen, kata Ray, juga penting untuk mempersempit peluang permainan mahar politik. Karena calon kepala daerah tak melulu menjadikan partai sebagai kendaraan Pilkada.
Ray juga mengatakan, bahwa fenomena calon tunggal saat ini terjadi karena tak adanya sanksi bagi partai politik jika tak mengajukan calon. "Seharusnya ada sanksi bila mereka tidak mencalonkan. Misalnya dana parpol tidak bisa dicairkan," ujarnya.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jerry Sumampouw berpendapat sama. Menurut dia, sanksi itu bisa diatur dalam Undang-Undang Pilkada. "Kalau Undang-undang Pilkada direvisi, sebaiknya dimasukan pasal sanksi kepada partai politik yang menolak mencalonkan," ujarnya.
Tak hanya itu, mereka menuding banyaknya calon tunggal di daerah-daerah peserta Pemilihan Kepala Daerah serentak 2015 akibat persoalan mahar politik yang belum beres. Partai politik dianggap menolak mengusung calon yang tidak mampu membayarkan sejumlah uang bagi elit partai.
Ketidakmauan partai mengusung pasangan calon itu sangat mungkin karena ada hal-hal yang belum beres, misalnya biaya dukungan," kata pengamat politik dari Populi Center Nico Harjanto dalam sebuah diskusi di Jakarta.