Petugas kepolisian menyusun barang bukti shabu saat rilis pengungkapan sindikat internasional narkotika jenis shabu (China-Hongkong-Indonesia), di Mabes Polri, Jakarta, 10 Oktober 2014. Polisi berhasil mengamankan 71,5 Kg shabu, senilai 143 milyar rupiah. TEMPO/M IQBAL ICHSAN
TEMPO.CO, Makassar - Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Makassar menangkap Muhammad Syahrir, 38 tahun, wiraswasta, di halaman rumahnya di Jalan Ratulangi, Makassar, Senin, 27 Juli 2015. Syahrir diringkus lantaran diketahui merupakan pengedar narkotik jenis sabu yang menyasar para pekerja kasar.
"Dia (Syahrir) itu pengedar sabu spesialis buruh bangunan dan penjual bakso. Makanya, barang haram yang dijualnya itu tersedia dalam paket ekonomis atau paket hemat," kata Wakil Kepala Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Makassar Komisaris Muhammad Fajri Mustafa di Markas Polrestabes Makassar, Selasa, 28 Juli.
Menurut Fajri, polisi menangkap Syahrir setelah mendapatkan informasi bahwa pelaku kerap melakukan transaksi narkoba. Saat digerebek di rumahnya, bapak tiga anak itu berusaha kabur dan menyembunyikan barang bukti. Berkat kejelian petugas, polisi berhasil mencokok pelaku dan barang bukti yang sempat disembunyikan di bawah tempat tidur.
Barang bukti yang disita berupa puluhan paket sabu seberat tidak kurang dari 20 gram. Rinciannya, 18 paket sabu seberat 1 gram seharga Rp 1 juta per paket, 15 paket sabu seharga Rp 300 ribu per paket, 10 paket sabu seharga Rp 150 ribu, dan 21 paket sabu seharga Rp 100 ribu per paket. "Yang paket ekonomis itu tak tahu beratnya, tapi keseluruhan lebih dari 2 gram," tuturnya.
Fajri menuturkan Syahrir memperoleh serbuk haram itu dari seorang bandar sabu berinisial IM seharga Rp 1,3 juta per gram. Untuk paket sedang yang berisi 1 gram, pelaku memperoleh keuntungan Rp 200 ribu per paket. Adapun untuk paket ekonomis, pelaku meraup keuntungan yang lebih besar. Rata-rata, Syahrir mendapat untung Rp 500 ribu dari paket ekonomis.
Syahrir di hadapan penyidik mengaku sudah sekitar satu tahun menggeluti bisnis narkoba. Ia mengatakan terdesak kondisi ekonomi karena mesti menghidupi istri dan tiga anaknya. Syahrir juga mengaku hanya menjual serbuk haram itu. "Saya tidak pakai sabu karena alasan kesehatan," ujarnya.
Soal pelanggan sabunya, Syahrir mengaku hanya berkutat pada buruh harian dan penjual bakso. Para pekerja kasar itu mengkonsumsi sabu dengan alasan agar lebih kuat menjalani pekerjaan mereka. "Hanya mereka-mereka itu yang biasa beli. Kalau kalangan PNS tidak ada," ucapnya.