TEMPO Interaktif, Jakarta:Kekeringan mulai melanda Nusa Tenggara Timur (NTT) bertepatan dengan tibanya puncak kemarau. Sumber-sumber air bersih mengering termasuk sumur air bawah tanah di perkampungan.Ribuan hektar lahan pertanian dan perkebunan serta padang penggembalaan ternak tidak dapat berproduksi. Sebagian warga mengkonsumsi air berkapur atau air berlumpur menyusul melonjaknya harga air mineral. Sementara harga jual air bersih dalam kemasan tangki 5000 liter mencapai Rp 250 ribu. Kekeringan terparah terjadi di Timor Barat, meliputi ; Kota Kupang, Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan Belu. Masyarakat sangat kesulitan mendapatkan air bersih. Keadaan ini diperparah dengan macetnya pelayanan perusahaan daerah air minum (PDAM) akibat berkurangnya debit air.Di Kota Kupang, masyarakat mulai mengkonsumsi air berkapur yang didapat dari sumur air bawah tanah atau sumur umum. Sementara di Kecamatan Sulamu, Fatuleu, Kupang Tengah, Amarasi Barat, Amarasi Timur dan Kecamatan Kupang Barat, masyarakat harus berjalan kaki lebih dari lima kilometer guna mendapatkan air minum. Dalam dua bulan terakhir masyarakat di beberapa kecamatan itu bertahan hidup dari persediaan air hujan yang ditampung di beberapa embung maupun bendungan. Namun dalam beberapa hari terakhir stok air terus menipis. Sementara suhu udara diperkirakan diatas 35 derajat Celsius, membuat warga memilih untuk mencari udara segar di luar rumah dengan bertelanjang dada. "Hanya dua kali timba, air sumur langsung kering. Meski airnya berkapur dan bercampur lumpur, tetapi kami tetap minum. Karena air tangki harganya sangat mahal," kata Habel Manapoa, warga Kelurahan Fatululi, Kupang. Demikian juga yang terjadi pada warga Desa Bismarak, Kecamatan Amabi Amfeto, Kabupaten Kupang. Jems de Fortuna