TEMPO Interaktif, Jakarta:Setelah 11 persen saham milik Yayasan Kartika Eka Paksi di PT.Bank Arta Graha dipaksa jual, karena tak mampu lagi menyetor modal yang diminta, saat ini kelompok kerja markas besar TNI masih membahas pengelompokan korporasi dasar hukum maupun permodalan bisnis militer.Semua itu akan diserahkan ke pemerintah. "Saat ini masih dibahas karena undang-undang yang mengatur bisnis militer ini cukup banyak,"kata Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayor Jenderal Kohirin Suganda Saputra, usai pemberian bintang kehormatan RI kepada Panglima Angkatan Bersenjata Singapura, Letnan Jenderal Ng Yap Chung, di Jakarta, Jumat (23/9). Undang-undang yang dimaksud Kohirin antara lain, Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 yang mengatur koperasi, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004 yang mengatur yayasan dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1995 yang mengatur perseroan terbatas. Itu, pengelompokan korporasi masih kami bahas. Supaya ada sinkronisasi dari ketiganya," ujar Kohirin. Kohirin menganggap batas waktu tanggal 27 September yang diberikan oleh Departemen Pertahanan jangan dianggap sebagai batas teknis. Karena, pembahasan bisnis militer ini akan menghasilkan beberapa macam solusi, mana yang akan diserahkan ke pemerintah dan mana yang tetap dikelola TNI. Bisnis militer memang tidak terpusat. Artinya yayasan Mabes TNI tidak membawahi yayasan angkatan. Masing-masing punya dasar hukumnya sendiri-sendiri. "Sehingga itu perlu dirumuskan bersama,"kata Kohirin. Sesuai rencana, panglima TNI ingin menyelesaikan masalah bisnis militer ini dalam waktu dua tahun. "Artinya Oktober 2005 sudah ada keputusan, sehingga pelaksanaannya Oktober 2005-Oktober 2006. Baru nanti November 2006-November 2007 dilakukan evaluasi dan diharapkan 2007 selesai,"ujar Kohirin. Masalah kompensasi bisnis militer yang diserahkan ke pemerintah, menurut Kohirin, belum ditentukan. "Karena mekanismenya setelah dibahas Mabes TNI dan angkatan bersama Dephan lalu akan dikoordinasikan lagi dengan BUMN dan Departemen Keuangan,"katanya. Fanny Febiana