TEMPO.CO, Bangkalan- Sebanyak Rp 25 triliun atau 27 persen dari total Rp 90 triliun APBD kabupaten/kota se-Jawa Timur tahun anggaran 2013-2014 terindikasi korupsi. Nilai itu diperoleh dari jumlah pengadaan infrastruktur yang dilakukan pemerintah kabupaten dan kota se-Jawa Timur.
"Modus paling umum adalah mark up harga pengadaan barang dan jasa," kata Koordinator Malang Corruption Watch Lutfi Kurniawan saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertema "Menegakkan Hukum, Memberantas Koruptor" di Universitas Trunojoyo Madura, Sabtu, 21 Maret 2015.
Lutfi menuturkan, perlu pelibatan masyarakat untuk mencegah korupsi pengadaan infrastruktur itu. Masyarakat, katanya, harus mulai berani kritis karena pengadaan infrastruktur yang bersumber APBN dan APBD banyak bersentuhan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Misalnya, dia mencontohkan, proyek perbaikan jalan desa yang peremajaannya dilakukan setiap tahun.
"Siapa CVnya?, berapa anggarannya?, anggaran tahun berapa? Dengan bertanya itu merupakan sikap kritis warga," katanya.
Untuk menciptakan sikap kritis di masyarakat, Lutfi menambahkan, perlu ada perubahan gerakan anti korupsi. Pengetahuan anti korupsi jangan lagi sebatas gerakan akademis tapi juga harus beralih menjadi gerakan publik.
"Di Jawa Timur kami dan beberapa LSM serta universitas sudah memulai mengajarkan masyarakat tentang apa itu korupsi dan apa saja bentuknya," ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Fauzin mengatakan diskusi publik dengan pemberantasan korupsi sengaja digelar karena pada awal tahun 2015, penegakan supremasi hukum dan penyelenggaraan negara bersih dari praktek - praktek KKN mengalami kemunduran.
Kemunduran itu, kata dia, terlihat dari dua kasus besar yang menjadi perhatian nasional yaitu proses hukum nenek Asiyani di Situbondo dan kasus Praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan). Dua kasus itu, Fauzin menggambarkan, terjadi ketimpangan penegakan hukum. "Dua kasus itu membuat saya ngeri," katanya.