Sidang paripurna DPR tandingan di ruang KK 2, kompleks gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2014. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Semarang - Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat membuat Rumah Aspirasi berbiaya Rp 1,78 triliun ditentang politikus daerah. Menurut Wakil Ketua Partai Persatuan Pembangunan Jawa Tengah Istajib, program ini mengada-ada. “Program seperti itu tidak prorakyat. Tidak ada gunanya, karena itu harus ditolak,” kata Istajib di Semarang, Kamis, 5 Maret 2015.
Menurut Istajib, anggota DPR harus lebih cerdas menyerap aspirasi. Misalnya, anggota DPR bisa memanfaatkan kantor partai untuk bertemu dengan konstituen dan rakyat. Bahkan, ujar dia, politikus Senayan bisa memanfaatkan alat-alat teknologi informasi untuk melakukan komunikasi dengan publik, seperti surat elektronik dan media sosial. “Banyak cara untuk menyerap aspirasi rakyat tanpa harus ada anggaran besar,” ucapnya.
Bagi Istajib, Rumah Aspirasi per anggota DPR yang bakal berbiaya sekitar Rp 150 juta per tahun itu bisa dialihkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. "Dialokasikan untuk mengatasi rakyat yang kesulitan membeli beras."
Rumah Aspirasi merupakan program baru yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 yang disahkan pada pertengahan Februari lalu.
Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan Dewan baru membahas aturan teknis mengenai program Rumah Aspirasi seusai reses pada 23 Maret mendatang. "Nanti akan kami putuskan bagaimana mekanisme pelaksanaannya di lapangan," ujar Agus.
Aktivis Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Jawa Tengah, Eko Haryanto, menilai anggaran Rumah Aspirasi merupakan bentuk penggarongan uang negara untuk kepentingan DPR. "Di daerah, untuk sewa rumah tidak sampai puluhan juta. Kalau anggaran membuat Rumah Aspirasi mencapai Rp 150 juta, ini pemborosan."
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
3 hari lalu
Fathan Subchi Dorong Pemerintah Sisir Belanja Tidak Prioritas
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fathan Subchi meminta pemerintah untuk mencari langkah antisipatif untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, salah satunya adalah dengan cara menyisir belanja tidak prioritas.