Merasa di Atas Angin, Kabinet Agung Minta Disahkan
Editor
Bobby Chandra
Rabu, 4 Maret 2015 15:34 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengurus Pusat bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Partai Golkar versi musyawarah nasional Ancol, Lawrence Siburian, mendesak Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia segera mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono.
Menurut Lawrence, Menteri Hukum tak punya alasan untuk tidak bersikap setelah mahkamah partai mengeluarkan putusannya. "Persoalan internal ini sudah kami bereskan dengan sidang mahkamah. Kami harap Pak Menteri segera proses karena waktu berjalan terus," katanya di Jakarta, Rabu, 4 Maret 2015.
Lawrence mendatangi Kementerian Hukum untuk mengantarkan surat permohonan pengesahan kepengurusan kubu Agung Laksono. Ditemani puluhan rekannya yang berpakaian kuning, ia mengaku disambut oleh Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Harkristuti Harkrisnowo.
Mahkamah Partai, kata Lawrence, telah mendelegasikan konsolidasi daerah ke kubu Agung. Begitu juga dengan persiapan pilkada serentak Desember 2015, munas konsolidasi pada Oktober 2016, serta revitalisasi kepengurusan. "Karena itu kami harus cepat bergerak. Namun payung hukumnya harus sah dulu, kan," kata dia.
Lawrence meyakini Mahkamah Partai telah mengakui sahnya kepengurusan Agung. Dalam putusan, dua hakim mahkamah mengakui sahnya kepengurusan Agung sementara dua hakim lain memilih tak memenangkan salah satu kubu karena mempertimbangkan proses kasasi Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang sedang diajukan kubu Aburizal Bakrie.
"Kalau dua memilih munas versi Ancol, dua memilih munas versi Bali, baru itu namanya draw," kata Lawrence. "Tapi ini kan seperti dua nol. Dan putusan itu ditandatangi. Jadi diam-diam Mahkamah Partai menyetujui kepengurusan Jakarta," kata Lawrence.
Sebelumnya, Mahkamah Golkar membacakan putusan sidang atas konflik dualisme kepengurusan partai tadi malam di DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat. Dua hakim Mahkamah, Andi Mattalata dan Djasri Marin, dengan tegas memenangkan kubu Agung Laksono. Sementara Muladi dan Natabaya memilih tak bersikap.
INDRI MAULIDAR