Agus Santoso, Wakil ketua PPATK. TEMPO/Dian Triyuli Handoko
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia sudah keluar dari daftar hitam negara rawan pencucian uang. Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Agus Santoso mengatakan ketetapan tersebut berdasarkan sidang Financial Action Task Force (FATF) di Paris, Prancis, pada Rabu sore waktu Indonesia, 25 Februari 2015.
Menurut Agus, sebagai syarat keluar dari daftar hitam, Indonesia harus menerapkan aturan pembekuan aset teroris sebagaimana dicetuskan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Sudah (diblokir) jaringan Taliban dan Al-Qaeda,” ujar Agus melalui pesan pendek, Kamis, 26 Februari 2015. Dia masih belum mau menyebutkan total dana milik jaringan terduga teroris yang telah diblokir.
Agus kini masih berada di Paris untuk mengikuti sidang FATF hingga akhir pekan nanti. Indonesia tercatat sebagai anggota Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), organisasi di bawah naungan FATF, sejak 2000.
Selanjutnya: KendalaIndonesia membekukan rekening kelompok teroris <!--more--> Negara-negara di bawah naungan FATF diwajibkan menerapkan United Nation List 1267 yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pencegahan pendanaan terorisme di lingkup internasional. Dalam daftar itu, terdapat beberapa warga negara Indonesia yang terdaftar dalam Al-Qaeda Sanction List. Resolusi yang berisi daftar organisasi dan individu teroris itu merupakan imbas pengeboman gedung World Trade Center di Amerika Serikat pada 9 September 2002.
Indonesia sempat terkendala menerapkan rekomendasi tersebut. Soalnya, Indonesia tidak mempunyai undang-undang tentang pemberantasan terorisme. Pada 2013, PPATK mengajukan pembahasan undang-undang, kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dalam undang-undang itu disebutkan unsur pendanaan merupakan salah satu faktor utama dalam setiap aksi terorisme.
Meski demikian, Indonesia masih masuk daftar hitam FATF. Musababnya, pemerintah tak bisa sewenang-wenang membekukan seluruh aset keluarga dari orang yang masuk daftar teroris. Pembekuan rekening seseorang tanpa ada pelanggaran hukum justru bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang diatur oleh hukum positif di negeri ini. PPATK kemudian meneken peraturan bersama antara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Mahkamah Agung, dan Polri untuk bisa membekukan aset keluarga dari daftar orang terduga teroris. Pakta disertai beberapa bukti inilah yang diajukan dalam sidang FATF.
Menurut Agus, kini Indonesia masuk daftar abu-abu atau greylist berdasarkan penilaian 35 negara. Setelah itu, sejumlah negara akan berkunjung ke Indonesia untuk penilaian. “Kunjungan pada pertengahan Mei untuk memastikan implementasinya,” ujar Agus. Bila dinyatakan efektif, kata Agus, Indonesia sepenuhnya mematuhi standar internasional.