Mayoritas Fraksi Pilih Pilkada Serentak 2016

Reporter

Kamis, 5 Februari 2015 23:40 WIB

Pengunjuk rasa melakukan aksi damai di depan Gedung DPR RI, Jakarta, 25 September 2014. Tempo/Aditia Noviansyah

TEMPO.CO, Jakarta --Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Arif Wibowo mengatakan mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat lebih memilih Pemilihan Kepala Daerah serentak 2016 mendatang. Alasannya supaya persiapan yang dibutuhkan lebih matang. “Tapi belum disepakati,” kata dia usai rapat harmonisasi Revisi Undang-undang Pilkada di Badan Legislasi, Kamis 5 Februari 2015.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar Fadel Muhammad menyatakan lebih siap mengikuti Pilkada pada Februari 2016 mendatang. Hal ini telah disampaikan dalam usulan perubahan UU Pilkada dan koalisi merah putih. Dalam waktu dekat, partai berlambang beringin tersebut akan melakukan konsolidasi dengan berbagai pimpinan daerah.

“Ada tiga poin penting yang kami sampaikan ke daerah,” ujar Fadel. Tiga poin utama tersebut antara lain teknis persiapan Pilkada, beberapa kebijakan baru partai, dan ihwal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Lain halnya dengan pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Azis Syamsuddin. Ia menyatakan Golkar siap melaksanakan Pilkada 2015 atau pun 2016. “Tergantung KPU dan Banwaslu-nya. Mereka siap kapan,” kata Azis.

Politikus Partai Demokrat Saan Mustopa menerangkan ada beberapa poin yang masih menjadi perdebatan dalam pembahasan RUU Pilkada, selain soal jadwalnya. Di antaranya ihwal uji publik, ambang batas kemenangan, model pemilihan, politik dinasti, serta syarat pendidikan calon.


Terkait ambang batas kemenangan, ada tiga opsi yang dilontarkan masing-masing fraksi, yakni 25 persen, 30 persen, dan tanpa batasan (pemenang adalah peraih suara terbanyak). Adapun partai yang setuju dengan ambang batas 30 antara lain PDIP, Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hati Nurani Rakyat, dan Partai Golkar. Sisanya, menginginkan ambang batas sebanyak 25 persen.


Saat ditanya potensi Pilkada dua putaran akibat ambang batas yang terlalu tinggi, Arif menepisnya. Menurut dia, alasan itu hanya sebagai anomali saja. Buktinya, dari Pilkada periode lalu, hanya ada tujuh kabupaten/kota yang mengadakan Pilkada dua kali putaran. “Kalau verifikasinya baik, tidak akan sampai dua kali putaran,” tuturnya.

Justru, kata Arif, sistem pemilihan tanpa ambang batas kemenangan akan berpotensi besar menimbulkan konflik. “Bahaya, tidak ada aspek keguyuban. Negeri kita ini kan aneh, yang dapat suara terbanyak malah dimusuhi,” ujarnya.

Ihwal model pemilihan, kata Saan, ada beberapa yang menginginkan sistem paket. “Tapi, Demokrat sendiri ingin tidak paket,” ujarnya.

Saan berpendapat sistem paket rentan dengan konflik antara kepala daerah dan wakilnya. Penyebabnya adalah keduanya merasa mempunyai kewenangan yang sama besar. Alhasil, konflik tersebut berdampak pada pelayanan publik yang tidak optimal.

“Padahal wakil hanya sebagai membantu pelaksanaan visi kepala daerah. Nanti kalau konflik, malah mengganggu jalannya pemerintahan,” tutur Arif.


DEWI SUCI RAHAYU

Berita terkait

Ketahui 3 Aturan Baru Tentang Kepala Desa Dalam UU Desa

1 hari lalu

Ketahui 3 Aturan Baru Tentang Kepala Desa Dalam UU Desa

Pemerintah akhirnya mengesahkan UU Desa terbaru yang telah diteken Jokowi dan diwacanakan perubahannya sejak Mei 2022. Apa saja aturan barunya?

Baca Selengkapnya

Permintaan Tambah Masa Jabatan Kepala Desa Dikabulkan, Kok Bisa?

1 hari lalu

Permintaan Tambah Masa Jabatan Kepala Desa Dikabulkan, Kok Bisa?

Permintaan para kepala desa agar masa jabatannya ditambah akhirnya dikabulkan pemerintah. Samakah hasilnya dengan UU Desa?

Baca Selengkapnya

DPR Agendakan Rapat Evaluasi Pemilu 2024 dengan KPU pada 15 Mei

1 hari lalu

DPR Agendakan Rapat Evaluasi Pemilu 2024 dengan KPU pada 15 Mei

KPU sebelumnya tidak menghadiri undangan rapat Komisi II DPR karena bertepatan dengan masa agenda sidang sengketa Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Amnesty Desak DPR dan Pemerintah Buat Aturan Ketat Impor Spyware

2 hari lalu

Amnesty Desak DPR dan Pemerintah Buat Aturan Ketat Impor Spyware

Amnesty mendesak DPR dan pemerintah membuat peraturan ketat terhadap spyware yang sangat invasif dan dipakai untuk melanggar HAM

Baca Selengkapnya

KPK Temukan Dokumen dan Bukti Elektronik soal Proyek Pengadaan Rumah Dinas saat Geledah Kantor Setjen DPR

3 hari lalu

KPK Temukan Dokumen dan Bukti Elektronik soal Proyek Pengadaan Rumah Dinas saat Geledah Kantor Setjen DPR

KPK menemukan beberapa dokumen yang berhubungan dengan proyek dugaan korupsi pengadaan perlengkapan rumah dinas DPR dalam penggeledahan.

Baca Selengkapnya

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

4 hari lalu

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyakini partainya masuk ke Senayan pada pemilu 2029 mendatang.

Baca Selengkapnya

KPK Geledah Gedung Setjen DPR, Simak 5 Poin tentang Kasus Ini

4 hari lalu

KPK Geledah Gedung Setjen DPR, Simak 5 Poin tentang Kasus Ini

KPK melanjutkan penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan sarana kelengkapan rumah jabatan anggota DPR RI tahun anggaran 2020

Baca Selengkapnya

Reaksi DPR Soal Arab Saudi Izinkan Pemegang Semua Jenis Visa Lakukan Umrah

4 hari lalu

Reaksi DPR Soal Arab Saudi Izinkan Pemegang Semua Jenis Visa Lakukan Umrah

DPR menyatakan kebijakan Arab Saudi bertolak belakang dengan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Baca Selengkapnya

Ditolak Partai Gelora untuk Gabung Kubu Prabowo, PKS Tak Masalah Jadi Koalisi atau Oposisi

5 hari lalu

Ditolak Partai Gelora untuk Gabung Kubu Prabowo, PKS Tak Masalah Jadi Koalisi atau Oposisi

Partai Gelora menyebut PKS selalu menyerang Prabowo-Gibran selama kampanye Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Gerindra Klaim Suaranya di Papua Tengah Dirampok

6 hari lalu

Gerindra Klaim Suaranya di Papua Tengah Dirampok

Gerindra menggugat di MK, karena perolehan suaranya di DPR RI dapil Papua Tengah menghilang.

Baca Selengkapnya