4 Alasan Komnas Tolak Jam Kerja Perempuan Dikurangi
Editor
Maria Rita Hasugian
Jumat, 5 Desember 2014 10:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tidak menyambut baik wacana pengurangan jam kerja untuk pegawai perempuan. Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menyebutkan empat alasan mengapa rencana yang dilontarkan Wakil Presiden Jusuf Kalla itu harus ditolak.
Pertama, Yuni menilai mengizinkan perempuan pulang kerja dua jam lebih cepat untuk mengurusi keluarga justru akan mengukuhkan diskriminasi atas kaum perempuan. "Kebijakan itu akan menguatkan paradigma bahwa parenting (mengasuh anak oleh orang tua) memang hanya tugas seorang perempuan," ujar Yuni yang dihubungi pada Jumat, 5 Desember 2014. (Baca: Ceu Popong Cemas Jokowi Potong Jam Kerja Perempuan)
Menurut Yuni, tugas parenting tidak seharusnya dibebankan pada perempuan semata. Tanggung jawab domestik rumah tangga, tutur dia, adalah beban yang harus dibagi bersama antara ayah dan ibu. Wacana memulangkan karyawati lebih cepat berarti membebankan tugas parenting dan domestik rumah tangga ke pundak para ibu.
Kedua, kebijakan itu, menurut Yuni, lama-kelamaan akan memicu marginalisasi perempuan di dunia kerja. "Mana ada perusahaan yang mau merekrut orang yang jam kerjanya lebih sedikit." (Baca: Pengurangan Jam Kerja Wanita, Ahok: Itu Tak Adil)
Aturan baru itu dikatakan Yuni akan menyingkirkan perempuan dari dunia kerja secara pelan-pelan. Alasannya. perusahaan pasti berorientasi pada profit, bukan hak asasi manusia.
Ketiga, Yuni berpendapat, kebijakan itu akan semakin menjauhkan anak dari keluarga lengkap. Memang, ibu akan semakin memiliki banyak waktu di rumah, tapi peran ayah akan semakin berkurang. Padahal, kata Yuni, anak juga membutuhkan afeksi dari ayah. "Pengaturan ini juga bisa berkontribusi pada kekerasan dalam rumah tangga, karena porsi maskulinitas lelaki menjadi lebih kuat." (Baca: Jokowi Kaji Pengurangan Jam Kerja Perempuan)
Terakhir, ujar Yuni, kebijakan itu tidak tepat karena tidak menyelesaikan problem sosial dari akarnya. "Ibarat obat, kebijakan itu hanya painkiller yang membunuh rasa sakit sementara, tapi tidak mengobati sumbernya," tuturnya.
Dia mengimbau pemerintah untuk mengkaji problem sosial dengan lebih matang. Bisa jadi, kata dia, kurangnya perhatian orang tua pada anak disebabkan oleh kemacetan di jalanan Ibu Kota yang menyita waktu orang tua. "Kalau seperti itu, kan, masalah kemacetannya yang harus diselesaikan."
Yuni mengingatkan pemerintah untuk tidak mengambil solusi cepat tanpa memperhatikan akar masalah. Hak dan tanggung jawab ayah dan ibu dalam keluarga harus dibagi dengan seimbang.
MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Baca juga:
Jadi Gubernur FPI, Berapa Gaji Fahrurrozi?
Gubernur FPI Tantang Ahok Bikin Survei
Prabowo Kecup Titiek Soeharto, Ical Girang
Moratorium Menteri Susi Diprotes, Tanda Ada Mafia
KPK Geledah Rumah Istri Muda Fuad Amin