TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva mengatakan proses dan mekanisme pemakzulan presiden harus melalui rangkaian panjang. Apa lagi, kata Hamdan, UUD 1945 mengatur secara tegas proses pemakzulan presiden. "Sistem presidensial dan ketentuan dalam UUD 1945 itu mengatur kuat posisi presiden," katanya di kantornya, Kamis, 27 November 2014.
"Sehingga tidak mungkin dari interpelasi kemudian akan digulirkan sampai tahap pemakzulan, karena prosesnya rumit." kata Hamdan. (Baca: Besok Tanda Tangan Interpelasi BBM Beredar)
Hamdan menegaskan Mahkamah Konstitusi tidak akan mengabulkan permintaan pemakzulan presiden oleh Dewan Perwakilan Rakyat jika argumentasi permohonannya hanya sebatas alasan politik. Menurut Hamdan, Mahkamah hanya akan menerima permohonan pemakzulan terkait dengan kasus pelanggaran hukum oleh presiden. (Baca: Harga BBM Naik, Ini Skenario Nasib Jokowi)
"Jika DPR minta pendapat ke Mahkamah, harus terkait dengan unsur hukum," kata Hamdan. "Kalau hanya ada unsur politik dan tidak ada alasan hukumnya, ya, selesai di sini." Musababnya, lanjut Hamdan, sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945, presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat.
Ini bisa terjadi jika presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela sehingga tidak memenuhi syarat sebagai Presiden.
Isi Kuliah Umum di Binus, Ketua MK Beberkan Soal Pengujian Undang-undang hingga Peran Mahkamah
7 jam lalu
Isi Kuliah Umum di Binus, Ketua MK Beberkan Soal Pengujian Undang-undang hingga Peran Mahkamah
Dalam kuliah umum, Suhartoyo memberikan pembekalan mengenai berbagai aspek MK, termasuk proses beracara, persidangan pengujian undang-undang, kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa, dan manfaat putusan MK.