Kesenian ini, kata Piyo—sapaan akrab Fitri—menekankan proses yang berlangsung, bukan hasil dari kesenian warga. Bersama kelompoknya, mereka memiliki misi untuk mengembangkan budaya lokal. Dengan cara memasang kain di area halaman rumah, warga diharapkan sadar akan pemanfaatan barang bekas.
Kegiatan ini sengaja didesain outdoor agar kesenian yang diramu bersama warga ini mampu dinikmati secara bersama pula. Tak hanya itu, kegiatan ini sekaligus mengenalkan kesenian dengan lebih terbuka. “Konsep outdoor yang diterapkan menghadirkan kesan bahwa kesenian itu bukan hanya berbentuk galeri dan sifatnya indoor,” katanya.
Memilih halaman sebagai ruang galeri, kata Piyo, adalah bentuk ajakan kembali untuk memperhatikan halaman rumah. Salah satu pesan yang ingin disampaikan adalah perubahan bisa dimulai dari tempat terdekat dan terjangkau. Halaman rumah juga merupakan wadah hampir semua aktivitas dan menjadi tempat bermain dan berinteraksi manusia dengan alam. Halaman atau pekarangan sekaligus merupakan ruang berlangsungnya intensitas ketegangan ruang pribadi dan ruang khalayak. Piyo mengaku salut atas kontribusi warga, khususnya anak-anak yang terlibat begitu aktif dalam Bom Benang ini.
Proyek yang dikerjakan sekelompok perajut di Makassar ini sudah berlangsung sejak 2012 lalu. Kegiatan Bom Benang, yang sudah memasuki tahun ketiga ini, mengambil tema “Yarn on Yard” atau “Benang di Halaman”. Kegiatannya adalah menjadikan halaman rumah sebagai galeri dengan memajang karya berupa rajutan atau yang berbahan baku benang.
Bom Benang kali ini tak hanya menjadi ruang galeri bagi perajut Makassar. Beberapa perajut dari Bandung, Yogyakarta, dan Semarang juga mengirimkan karyanya. Dalam acara ini, dihelat pula kelas pembuatan dompet koin dari kain, kursi kain, pembuatan sabun, dan diskusi terbuka, yang bertempat di kampung buku, Ininnawa.
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Sensasi Gowes Menyusuri Pedesaan di Bali
Temuan Baru Arkeolog di Bukit Siguntang, Palembang
Kie Raha, Festival Internasional Maluku Utara