Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bergegas usai memberikan pernyataan pers di Bandara Internasional Halim Perdanakusumah, Jakarta, 30 September 2014. Presiden SBY mengatakan dirinya harus taat konstitusi sehingga tidak ada jalan untuk tidak setuju atas hasil paripurna DPR tentang UU Pilkada. ANTARA/Widodo S. Jusuf
TEMPO.CO, Jakarta - Ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Refly Harun, menyarankan, bila Presiden Susilo Bambang Yudhoyono serius menolak Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, dia dapat mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). "Kalau memang keberanian SBY ada, ya, mengeluarkan perppu. Masyarakat tentu akan mendukung," katanya ketika dihubungi, Selasa, 30 September 2014. (Baca: SBY Tiba di Tanah Air, Muncul #WelcomeMrLiar)
Refly mempunyai dua opsi bila SBY mengeluarkan perppu. Pertama, SBY menandatangani UU Pilkada, lalu dicabut, kemudian menerbitkan perppu. "Agar tidak terjadi kekosongan hukum," ujarnya. (Baca: SBY Punya Plan B Jegal UU Pilkada)
Opsi kedua, karena SBY tidak pernah menyetujui UU itu, maka dia bisa saja tidak menandatangani UU tersebut. Dengan demikian, akan terjadi kekosongan hukum dan tetap menerbitkan perppu. Konstruksi perppu tersebut juga bergantung pada SBY, apakah isinya kembali ke undang-undang lama atau seperti apa. (Baca: Merunut Sikap Plinplan Pemerintah di UU Pilkada)
Setelah presiden terpilih Joko Widodo dilantik pada 20 Oktober, perppu tersebut bisa langsung diserahkan ke DPR. "Nanti biarlah DPR periode berikutnya yang berdebat, silakan menerima atau menolak," kata Refly. (Baca: SBY Tak Punya Dasar Hukum Tolak UU Pilkada)
Refly menyadari perppu hanya bisa diterbitkan dalam keadaan genting. Menurut dia, kondisi yang ada saat ini sudah genting lantaran UU Pilkada sudah mengancam demokratisasi yang dibangun 16 tahun terakhir. "Ini alarm. Muncul kelompok oligarki baru, ingin menentukan jabatan-jabatan bagi kelompoknya," ujarnya. (Baca juga: 5 Argumen DPR Soal Pilkada DPRD yang Terbantahkan)