TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra mengatakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang perlu dibawa ke Mahkamah Konstitusi. "Ini tentang hak KPK menuntut tindak pidana pencucian uang," ujarnya ketika didatangkan sebagai saksi ahli pada kasus Hambalang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 3 September 2014.
"Polemik ini harus segera diselesaikan," ujar Yusril. Yusril menjelaskan Komisi Pemberantasan Korupsi tidak berhak menuntut pada kasus pencucian uang sebelum ditetapkannya Undang-Undang TPPU yang baru pada tanggal 22 Oktober 2010. "Menurut UU TPPU yang lama, KPK hanya berhak menyidik, tanpa menuntut," ujarnya
Meski berpendapat demikian, Yusril mengatakan tak bisa menyatakan dengan pasti apakah itu berarti tuntutan jaksa KPK dalam kasus Anas Urbaningrum telah melangkahi wewenang. Seperti diketahui, kasus pencucian uang yang menjerat mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu terjadi tahun 2009. "Saya tidak bisa menilai karena saya bukan hakim," Yusril berkilah. (Baca: Anas Jadi Tersangka Kasus Pencucian Uang)
Penetapan atas Undang-Undang TPPU yang baru, menurut Yusril, akan membantu hakim dalam menentukan putusannya. Hakim akan sangat tertolong dengan penetapan yang ajeg terhadap aturan baru itu. (Dijerat Pencucian Uang, Ruhut: Anas, Terima Nasibmu)
Adanya dualisme undang-undang, menurut Yusril, akan berpengaruh terhadap pertimbangan hakim dalam pengambilan keputusan. Jika hakim tipikor menangani kasus yang terjadi sebelum diterapkannya undang-undang yang baru, hakim akan kebingungan mau berpegangan pada undang-undang yang mana. "Bingung, kan?" kata Yusril.
Yusril menegaskan dia hanya bersaksi atas sepengetahuan dirinya sebagai ahli hukum tata negara. "Saya hanya memberikan keterangan melalui ilmu saya," ujarnya. "Semua terserah majelis hakim," kata Yusril. Menurut dia, hakimlah yang paling berhak memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya.