Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di rapat terbatas dengan sejumlah Menteri di Istana Negara, Jakarta, 4 Agustus 2014. Salah satu yang dibahas dalam rapat mengenai kelompok Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah di Indonesia. TEMPO/Subekti
TEMPO.CO, Surabaya - Pengamat kontra-terorisme Harits Abu Ulya menganggap Badan Nasional Penanggulangan Terorisme berlebihan dalam "menggoreng" isu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). (Baca: Alumni Tebu Ireng Tolak Dukungan ke ISIS)
"Saya berharap ISIS tidak terus digoreng oleh BNPT dan juga pihak terkait lainnya. Ketegasan itu harus tetap profesional dan adil karena negara ini bukan rimba raya dengan hukum kebinatangannya," ujar Harits kepada Tempo, Sabtu, 16 Agustus 2014. (Baca: ISIS Indonesia Tak Terafiliasi ISIS Suriah dan Irak)
Menurut Harits, langkah-langkah pencegahan BNPT dan jejaringnya tidak berbanding lurus dengan penindakan yang seharusnya terukur, profesional, dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum. Harits menyayangkan tewasnya seorang terduga teroris saat penggerebekan di Perumahan Kencana Griya Asih, Desa Kedungweringin, Kecamatan Patikraja, Banyumas, Jawa Tengah, Jumat, 15 Agustus 2014. (Baca: Densus Tangkap Terduga Anggota ISIS di Surabaya)
Personel Detasemen Khusus 88 Antiteror, kata Harits, seharusnya bisa dan cukup melumpuhkan tersangka, bukan melakukan tindakan yang mematikan. Harits menuding Densus 88 dan BNPT tetap memaksakan menindak para terduga teroris meskipun pijakan hukumnya dinilai lemah.
Harits menuding tindakan terhadap para terduga teroris oleh Densus 88 dan BNPT sangat berlebihan. Dia menilai tindakan itu kontraproduktif dalam menangani isu ISIS dan terorisme. Sebab, aparat justru membuat stimulan kekerasan yang berpotensi memunculkan kekerasan secara sporadis dari orang-orang yang merasa terzalimi dalam kasus ini.