Zulanda Pratiwi mengikuti Ujian Nasional (UN) di dalam mobil ambulans di komplek SMAN 1 Sewon, Bantul, Yogyakarta (14/4). Siswa tersebut mengikuti UN di dalam ambulans karena kecelakaan dan tidak bisa mengerjakan soal UN di ruang kelas. ANTARA/Noveradika
TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 33 laporan kecurangan ujian nasional sekolah menengah atas diterima Federasi Serikat Guru Indonesia. Kasus yang paling banyak dilaporkan terkait dengan praktek jual-beli jawaban. "Ada sebelas kasus yang menyangkut kunci jawaban," ujar Sekretaris Jenderal FSGI Retno Listiyarti di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, 15 April 2014.
Laporan mulai diterima sejak 11 April 2014, tak lama setelah FSGI membuka Posko Pengaduan UN. Beberapa siswa dan orang tua murid melaporkan indikasi kecurangan lewat sarana pesan pendek dan surat elektronik. "Selain masalah kunci jawaban, ada juga masalah kekurangan soal dan kecurangan teknis pelaksanaan UN," kata Retno.
Kasus jual-beli suara diketahui meliputi wilayah Jakarta, Bandung, Medan, dan Surabaya. Pola yang digunakan untuk memuluskan praktek tersebut menggunakan dua jenis, yakni melalui jaringan para alumni sekolah yang bersangkutan atau sindikat jasa bimbingan belajar. "Untuk enam paket kunci jawaban, mereka bisa menjualnya seharga 14 juta," kata Retno. (Baca: Joki Ujian Itu Menciptakan Bakal Koruptor)
Menurut Retno, kasus jual-beli kunci jawaban marak terjadi lantaran UN dijadikan sebagai parameter standar kelulusan dan pertimbangan ujian masuk perguruan tinggi negeri. "Faktor itulah yang membuat sebagian siswa tergiur mencari jalan pintas. Mestinya UN cukup dijadikan sarana pemetaan kualitas sekolah dan capaian pembelajaran siswa," katanya.
Ketua Dewan Pertimbangan FSGI Doni Koesoema A. meminta pemerintah mengevaluasi penyelenggaraan UN secara keseluruhan. Menurut dia, desain dan pelaksanaan UN saat ini tidak sejalan dengan standar perumusan materi ujian. "Agar obyektif, evaluasi itu harus dilakukan oleh badan independen, bukan organ dari kementerian," katanya.
Sikap yang lebih keras dilontarkan aktivis LBH Jakarta, Nelson Nikodemus. Ia meminta pemerintah menghentikan pelaksanaan UN hingga pemerintah mampu meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang merata bagi seluruh siswa di Indonesia. "Itu bunyi putusan kasasi pada tahun 2008. Tapi pemerintah selalu membangkang," ujarnya.