TEMPO.CO, Yogyakarta - Kisruh PT Angkasa Pura dengan PT Jogja Magasa Iron soal lokasi bandara baru di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan lokasi pabrik bijih besi itu makin ramai dengan penolakan penduduk yang bakal digusur akibat proyek bandara tersebut. Menjelang pemilihan umum ini, penduduk yang menolak megaproyek bandara di Kulon Progo mengancam akan bersikap pasif dalam pemilihan umum April 2014.

Penyebabnya, penduduk yang tergabung dalam Paguyuban Wahana Tri Tunggal (WTT) itu merasa ditelantarkan oleh orang-orang yang menyebut dirinya wakil rakyat di DPRD Kulon Progo sehingga hidup mereka terancam penggusuran proyek bandara itu. “Kami enggak akan ngurus pemilu. Kami akan pasif,” kata juru bicara Paguyuban, Martono, saat dihubungi Tempo, Selasa, 4 Maret.

Akibat sikap wakil rakyat itu, Paguyuban tak pernah mengadukan persoalan mereka kepada Dewan. Mereka tak percaya lagi dengan anggota Dewan yang hingga kini bersikap diam dalam konflik antara warga dengan pemerintah Kulon Progo dan Angkasa Pura itu. “Dewan itu enggak punya siung. Mereka ikut saja dengan proyek itu tanpa memikirkan rakyat,” ujar Martono.

Dia menjelaskan bahwa warga yang semula setuju proyek itu karena iming-iming relokasi kini berbalik menolak. Dia mengklaim jumlah warga yang menolak ada sekitar seribu orang, yang merupakan warga yang telah mempunyai hak pilih. Mereka tersebar di enam desa di Kecamatan Temon, meliputi Jangkaran, Palihan, Sindutan, Glagah, Kebonrejo, dan Temon Wetan.

Meski mencela anggota Dewan dan Pemda Kulon Progo, toh warga berencana menggelar doa bersama dengan mengundang Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo, Kamis malam, 6 Maret 2014. “Inti doa, warga meminta agar penolakan mereka atas bandara dikabulkan,” ujar Martono.

Menjawab tudingan bahwa anggota DPRD menelantarkan penduduk yang terancam digusur, Wakil Ketua DPRD Kulon Progo dari Fraksi PKB, Sholeh Wibowo, malah menyatakan Dewan mempercayakan eksekutif untuk menyelesaikan persoalan itu. Namun, kata dia, tak menutup kemungkinan eksekutif dan legislatif duduk bersama untuk mencari solusi. “Kalau soal pemilu, ya, itu hak demokrasi warga untuk memilih dan dipilih,” kata Sholeh.

Adapun Bupati Hasto mengeluhkan warga yang selalu protes tak ada sosialisasi tentang bandara. Jika yang dimaksud warga adalah soal besaran nilai ganti rugi, menurut dokter medis ini, pemerintah Kulon Progo tak berwenang. “Pemerintah daerah bukan yang berwenang membayar, tapi Angkasa Pura,” Hasto berkilah.

PITO AGUSTIN RUDIANA