Seorang jurnalis asing melakukan siaran langsung jelang pembebasan bersyarat terpidana narkotika asal Australia Schapelle Corby di depan Lapas Denpasar, Kerobokan, Bali, (6/2). Corby merupakan terpidana penyelundupan ganja ke Bali pada tahun 2004. TEMPO/Johannes P. Christo
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah Indonesia dinilai lemah terhadap manuver Schapelle Leigh Corby, Ratu Ekstasi Australia. "Kita kalah dengan rencana tayangan Corby di media Channel Seven," kata Profesor Hikmahanto Juwana, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kala dihubungi Ahad, 2 Maret 2014.
Menurut ahli hukum internasional itu, peristiwa tersebut makin mengkonfirmasi bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemerintahan yang memberi banyak keistimewaan bagi narapidana kejahatan serius, narkoba.
Pemerintah, kata dia, harus secepatnya mengembalikan Corby ke penjara jika wawancara dengan Corby muncul di media Australia. “Kepala Kanwil Hukum dan HAM mesti sampaikan hal itu kepada Corby.”
Heki, panggilan akrab Hikmahanto, menilai Kepala Kanwil tidak dapat menandingi rengekan dari kakak Corby, Mercedes, agar media Australia bisa melakukan tayangan terkait Corby. Padahal, ujar dia, masyarakat Indonesia pasti akan marah melihat acara itu.
Rencananya, Ahad, 2 Maret 2014, mulai pukul 8 malam waktu setempat, stasiun televisi Australia Channel Seven menayangkan detik-detik pembebasan Corby. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin sudah mengizinkan tayangan itu asal tidak menampilkan wawancara dengan Corby. (Baca: Menteri Amir Ancam Cabut Pembebasan Corby)
Direktur Komersial Channel Seven Bruce McWilliams mengatakan pihaknya menawarkan Corby tak sampai Aus$ 1 juta untuk wawancara. Sebelumnya ramai diberitakan bahwa Corby mendapat Aus$ 2 juta atau setara Rp 20,7 miliar.
Heki juga melihatnya aneh karena polisi Australia berani melakukan penggerebekan atas medianya yang menjanjikan honor besar. Namun aparat keamanan kita, kata dia, tidak bisa berbuat apa-apa. "Di mana wibawa pemerintah dan kedaulatan hukum di negeri sendiri?"