Satria Nur Bambang (Iyo), vokalis band Pure Saturday di kediamannya, Bandung, Jawa Barat. (23/2). Iyo bersama tiga temannya mengaku dipukul menggunakan botol oleh oknum polisi. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
TEMPO.CO, Bandung - Kriminolog dari Universitas Padjadjaran Bandung, Yesmil Anwar, mempertanyakan klaim Kepala Kepolisian Daerah Jawa Barat Inspektur Jenderal Mochamad Iriawan soal menurunnya angka kriminalitas setelah ada pemberlakuan jam malam di Kota Bandung sejak Januari lalu. Menurut Yesmil, pemberlakuan jam malam dan pembatasan jam buka tempat hiburan malam hanyalah pendekatan simptomatik atau gejala. “Mungkin turun di sekitar tempat hiburan malam, tapi bisa jadi meningkat di lokasi lain atau kejahatannya berpindah tempat,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran itu pada Selasa, 25 Februari 2014.
Yesmil mengibaratkan kondisi itu seperti orang yang pusing, diberi obat, lalu sehat lagi. Namun pengobatan gejala itu tanpa disertai pemeriksaan lebih jauh. “Dulu zaman petrus (penembakan misterius terhadap para preman) juga begitu, sekarang kejahatan meningkat lagi,” katanya.
Dia mengatakan, Polda Jabar seharusnya tidak mengeluarkan kebijakan berdasarkan suatu gejala tertentu, sehingga tempat hiburan malam menjadi korban. “Jangan karena ada tikus, lumbungnya semua dibakar,” ujarnya.
Apalagi jika alasan aturan itu dibuat sebagai akibat insiden pembacokan Kepala Polsek Astana Anyar yang berusaha melerai perkelahian orang mabuk di dekat sebuah tempat karaoke di Jalan Sudirman. “Kalau begitu alasannya, polisi mau mengamankan diri sendiri, bukan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Yesmil, pemberlakuan jam malam itu tak sesuai dengan suasana Bandung sebagai kota besar. Selain Bandung jadi bercitra kota mencekam dan tidak aman, aturan baru kepolisian itu merugikan secara politis dan pemasukan kas daerah. Polisi sebagai bagian dari masyarakat sipil seharusnya memberi keamanan yang baik.
“Aturan itu harus dicabut Polda Jabar dan Kapolri harus mengevaluasinya secara sistemik,” kata dia.