Aktivis ICW Tama Satrya Langkun (kanan) di dampingi Koordinator Bidang Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho (tengah) dan peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal (kiri). TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch mencatat tiga keistimewaan yang diberikan pemerintah kepada koruptor. Hal ini menyebabkan tidak ada efek jera yang dirasakan para koruptor. "Pemerintah masih berkompromi dan memberikan belas kasihan kepada koruptor," kata peneliti ICW, Tama S. Langkun, di kantornya, Jakarta, Ahad, 8 Desember 2013.
Keistimewaan pertama, Surat Edaran Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 04.PK.01.05.06 yang diteken pada 13 Juli 2013. Surat edaran dari Menteri Amir Syamsuddin ini dinilai bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi karena memberikan pengecualian terhadap pembatasan remisi koruptor.
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980, para pejabat tersebut masih diperbolehkan menerima dana pensiun sekitar 75 persen dari gaji pokoknya seumur hidup."
Keistimewaan ketiga, menurut Tama, adanya mantan narapidana korupsi yang masih menjadi pejabat publik. Misalnya, Kepala Dinas Kehutanan Kampar, Riau, Muhammad Syukur, adalah mantan terpidana korupsi. Syukur tetap menjabat meski ada Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 800/4329/SJ 2012 yang melarang mantan terpidana korupsi menduduki jabatan struktural.
"Sayangnya, Menteri Gamawan tak menegur Bupati Kampar, Jefri Noer, yang tetap mempekerjakan M. Syukur," kata Tama.