Australia Khawatir Indonesia Berpihak ke Cina
Senin, 25 November 2013 08:41 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies, Guspiabri Sumowigeno, menilai alasan Australia menyadap komunikasi sejumlah petinggi Indonesia disebabkan kekhawatiran mereka bahwa Indonesia akan "berpaling" kepada Cina.
Padahal, Barat (Amerika Serikat dan semua sekutunya di seluruh dunia) memiliki skenario besar membendung pengaruh Cina di mana-mana, yang dinamakan China Containment. Dalam konteks China Containment inilah, maka perebutan pengaruh Barat dan Cina itu terjadi secara sengit.
"Inilah yang sekarang sedang membuat panik kekuatan-kekuatan politik Australia," kata Sumowigeno, Kamis.
China Containment merupakan cara Amerika Serikat dan sekutunya membendung peningkatan pengaruh Cina sebagai negara adidaya baru dalam ekonomi, militer, politik, dan budaya.
Menurut Sumowigeno, pengungkapan skandal penyadapan Australia dari kantor kedutaan besarnya di Jakarta ini, "Pasti merusak strategi yang ditujukan untuk membendung kebangkitan pengaruh Cina yang sedang muncul menjadi kekuatan adidaya ekonomi, politik dan militer."
<!--more-->
Ia mengatakan, komitmen Indonesia terhadap China Containment itu cukup terlihat. Indikasinya, Indonesia seolah tidak menganggap intervensi politik dan militer Australia dalam kampanye pelepasan Timor Timur dari Indonesia sebagai tamparan yang seharusnya membekas dalam pada 1999.
Australia yang berdiri paling depan dalam memberi tekanan politik dan kekuatan militer berupa International Force for East Timor (Interfet) ke Indonesia soal (saat itu) Provinsi Timor-Timur pada awal 1999.
Australia sukses melepaskan Timor Timur dari Indonesia pada Agustus 1999, juga "membentengi" jajak pendapat PBB yang diketahui juga tidak berlangsung secara jujur dan adil sepenuhnya. Keberhasilan mepmereteli wilayah Indonesia oleh Australia pada Timor Timur ini tidak dianggap hambatan psikologis berarti oleh Indonesia.
Indonesia kemudian cepat membalikkan keadaan, dari krisis menjadi persahabatan dengan Timor Timur, sejalan keberhasilan tim perumus Komisi Kebenaran Persahabatan yang dibentuk bersama.
<!--more-->
Dengan Australia, hubungan itu juga diubah segera, terutama setelah dijalin kerja sama pada 2001. Padahal, kebanyakan kerja sama itu lebih menguntungkan Australia, di antaranya Indonesia menjadi "benteng" pemberantasan gelombang imigrasi gelap ke Australia.
Indonesia, kata dia, tetap menjalin hubungan mesra nyaris seperti sekutu dengan Australia, meskipun dalam kacamata politik internasional telah diperlakukan secara keji oleh Australia dalam persoalan Timor Timur.
"Indonesia tidak mendapatkan imbalan sepadan untuk jasanya mencegah kejatuhan Timor Portugis ke tangan kelompok kiri atau komunis yang meresahkan Australia sebelum tembok Berlin runtuh," kata dia.
Dalam perspektif Beijing, ujar dia, sikap ini konfirmasi bahwa Indonesia memang ikut menjadi pilar dari China Containment. Cina dianggap lebih sebagai ancaman yang nyata ketimbang Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya, termasuk Australia.
Ia mengatakan kepanikan Australia saat ini juga karena negara Timor Timur kemudian ternyata juga bukan anak manis bagi Negara Kanguru itu dan berkali-kali menggunakan "kartu Cina" untuk kepentingan nasionalnya. (Baca: Penyadapan, Menteri Australia Batal ke Indonesia)
<!--more-->
Paling jelas adalah menekan Australia agar mau lebih jujur, adil, dan terbuka soal pengelolaan minyak dan gas bumi di celah Timor. Minyak bumi di celah Timor yang digembar-gemborkan Australia ada dalam jumlah sangat besar itu diangkut dan dikilang di Australia.
Negara Timor Timur hanya mendapat semacam "bagi hasil" dengan perhitungan deposit pasti minyak Bumi dan gas, eksploitasi mereka, dan keuntungan yang hanya diketahui segelintir pihak saja.
"Wacana pembukaan pangkalan militer Cina di negara Timor Timur amat menggetarkan Australia," katanya. (Lihat foto-foto: Kedubes Australia Diserang dengan Telur dan Tomat)
Salah satu faktor yang menghalangi hal itu tidak terwujud adalah karena tiada restu dari Jakarta dan Cina masih menimbang perasaan Indonesia bila mereka jadi membuka pangkalan militer di dalam wilayah gugusan kepulauan Nusantara.
"Tingkat kepercayaan Indonesia yang menipis pada Australia bisa membuat Jakarta mengambil sikap berbeda terhadap wacana itu untuk membuat perhitungan," ujarnya. (Baca: Daftar Penyadapan Australia Sejak 1950)
ANTARA
Berita Terpopuler Lainnya
TKI Dapat Warisan Rp 9,5 Miliar dari Majikannya
Gratis! Naik Angkot Kurang dari Satu Jam
Farhat: Menabrak, Dosa AQJ Tak Akan Habis
Survei: Tokoh Islam Tak Mampu Saingi Jokowi
Ini Klub Gay dan Waria di Jakarta Sejak 1980