Seorang nelayan mengkuliti seekor lumba-lumba usai ditangkap di pantai selatan Lima, Peru, (18/10). Menurut LSM Mundo Azul, sekitar 7.000 hingga 15.000 lumba-lumba dibunuh secara ilegal di Peru tiap tahunnya untuk dijadikan umpan ikan Hiu. REUTERS/NGO Mundo Azul/Stefan Austermuhle
TEMPO.CO, Lampung - Pandangan Harun Bintang, 78 tahun, nanap menatap air laut berpendar karena cahaya matahari sore pada Selasa lalu di Pantai Teluk Kiluan, Kabupaten Tanggamus, Lampung. "Saya merindukan lumba-lumba memandu perahu masuk ke teluk," kata dia.
Pria asal Bugis itu menjadi orang pertama yang tinggal dan mendirikan rumah di daerah itu. Saban sore, dia masuk ke teluk dengan kapal. Satu-satunya pemandu agar kapalnya tak menghantam karang atau kandas di perairan dangkal adalah lumba-lumba yang berenang di depan, juga sisi kanan dan kiri kapal.
Namun kenangan itu sirna setelah perburuan lumba-lumba jenis moncong botol itu marak pada 1990-an hingga 1998. Nelayan dari luar daerah menjaring, menombak, dan membantai ribuan lumba-lumba di depan mulut teluk.
Perburuan lumba-lumba itu mengikuti tren pembantaian hiu yang juga marak di sekitar perairan Teluk Lampung hingga Pesisir Barat di Lampung Barat. "Cara mudah menangkap hiu ya dengan lumba-lumba sebagai umpan," kata dia.
Nelayan di perairan Teluk Semaka dan Teluk Kiluan tidak ada yang berani melarang perburuan itu. Padahal, keberadaan mamalia laut ini menjadi penanda musim ikan tongkol, lemadang, hingga marlin atau todak.
Para pemburu mamalia cerdas ini biasanya menggiring sekelompok lumba-lumba hingga tersudut dan dibantai beramai-ramai di tengah laut. "Setelah dibantai, mereka menjualnya di tengah laut kepada kapal nelayan pemburu hiu dari Jepang dan Thailand," kata dia.
Seekor lumba-lumba dibanderol dengan harga Rp 100-200 ribu. Sekali berburu, setiap perahu bisa mengangkut 20 ekor. Mereka berburu secara berkelompok hingga sepuluh perahu. "Tapi kini harus sembunyi-sembunyi," kata Sudarmadi, 50 tahun, nelayan di Telukbetung, Bandar Lampung, yang telah memburu lumba-lumba selama 20 tahun lebih.
Namun kini Sudarmadi tidak lagi masuk ke Teluk Semaka dan Teluk Kiluan untuk berburu lumba-lumba. Dia hanya menyisir perairan Lampung. "Sekali berlayar belum tentu dapat seekor pun," ujar dia. Pendapatannya kini menurun drastis sejak perburuan lumba-lumba dilarang.