TEMPO Interaktif, Solo: Pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke-31 di Asrama Haji Donohudan dikhawatirkan akan diwarnai dengan politik uang. Aroma suap sudah mulai dirasakan meski sulit dibuktikan. Salah satu indikasinya adalah derasnya kucuran dana yang diterima pengurus pimpinan cabang (PC) NU yang kemudian digunakan membangun kantor NU di sejumlah daerah. Oleh karena itu sejumlah aktivis muda NU mendesak agar PB NU transparan soal pendanaan muktamar. Hal itu dikatakan aktivis muda NU yang tergabung dalam Nahdliyin Crisis Center (NCC) Luthfi Rohman dalam jumpa pers, Kamis (25/11).Menurut Luthfi dari pengalaman muktamar di Lirboyo, jago-jago yang bertarung untuk memperebutkan kursi Ketua Umum Pengurus Besar NU cenderung membiasakan memberikan uang kepada muktamirin. "Ini memang baru sebatas analisis dan kekhawatiran," kilahnya.Sebagai bagian NU, NCC mendesak agar PB NU transparan dalam berbagai hal termasuk pendanaan muktamar. "Selama ini NU tidak mengenal iuran, sehingga wajar kalau warganya menanyakan asal pendanaan, sehingga NU bisa menyewa suatu tempat untuk muktamar," kata Jazuli A Kasmani, aktivis NCC lainnya.Selain mengungkapkan kekhawatiran praktik politik uang, NCC juga menilai PB NU tidak serius menjalankan amanah khittah 1926. Penyebabnya adalah struktur dan kepemimpinan NU yang elitis dan tidak memahami permasalahan yang dialami warga NU. Mereka juga menyebut pemimpin NU sekarang ini juga bukan berasal dari kalangan yang memahami kultur NU. "Apa yang dilakukan PB NU ketika muncul masalah pada buruh migran yang sebagian besar merupakan warga NU. Tidak ada respon sama sekali kan, ini karena memang PB NU tidak peka terhadap permasalahan warganya sendiri," kata Luthfi.NCC mendesakkan agar NU melakukan mengevaluasi perencanaan mereka. Selain itu NU juga harus mengubah struktur organisasi dari model vertikal menjadi horisontal agar lebih mampu memahami problem-problem yang dihadapi warganya. Imron Rosyid - Tempo