Sofyan Tan, pendiri sekaligus ketua Yayasan Perguruan Sultan Iskandar Muda, di Medan, Sumatera Utara. TEMPO/Tommy Satria
TEMPO.CO, Medan - Gagasan Sofyan Tan mendirikan sekolah khusus yang mengajarkan nilai pembauran dan toleransi berangkat dari pengalaman pahitnya semasa muda. Ketika berkuliah, dia kerap menjadi korban rasisme semata karena matanya sipit.
Pengalaman diskriminatif Sofyan Tan mulai dia dapatkan sejak awal bangku kuliah. Sofyan yang bertekad ingin menjadi dokter, lantaran pengalaman pahit tak bisa menolong ayahnya yang sakit, tak lulus masuk Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU). Namun, bukan lantaran dia bodoh, tapi hanya karena ia keturunan Tionghoa.
“Dongkol saya karena waktu itu ada aturan penjatahan untuk orang Tionghoa yang masuk USU,” kata dia, ketika ditemui Tempo, Juli 2013 lalu. Tan sempat mogok makan, tapi keluarga akhirnya berhasil membujuknya. Ia kemudian kuliah kedokteran di Universitas Methodist Indonesia.
Saat kuliah, perlakuan tak adil lagi-lagi menderanya. Ia tak pernah bisa lulus dari pelajaran mata hanya karena dosennya kala itu tak suka orang Tionghoa. Tan membutuhkan tiga tahun untuk bisa lulus.
“Hingga suatu malam saya berdoa, kalau saya lulus kuliah akan mengelola sekolah yang tak ada diskriminasi di dalamnya,” kata ayah empat orang anak penganut Buddha itu. Begitu lulus, Sofyan akhirnya mewujudkan mimpinya mendirikan sekolah yang mengajarkan pentingnya hidup bersama dalam keberagaman. Di sekolah Yayasan Sultan Iskandar Muda itu ada masjid, gereja, vihara dan pura berdampingan.