Sejumlah kepala dusun dan warga melakukan sujud syukur setelah disahkannya Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY di Sekretariat Paguyuban Dukuh Bantul, Kelurahan Timbulharjo, Bantul, Yogyakarta, Kamis (30/8). Rancangan Undang-undang Keistimewaan DIY akhirnya disahkan menjadi Undang-Undang Keistimewaan dalam rapat paripurna DPR-RI. TEMPO/Suryo Wibowo
TEMPO.CO, Yogyakarta - Menjelang Pemilu 2014, diperkirakan 75 kepala desa di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, akan meninggalkan jabatannya untuk maju sebagai calon legislatif. “Tapi yang sudah pasti, baru 20 kepala desa,” kata Ketua Paguyuban Kepala Desa Ismoyo DIY, Bibit Rustanto, di DPRD DIY, Selasa, 5 Februari 2013.
Karena itu, Bibit minta pemerintah merevisi aturan yang mengharuskan kepala desa mundur dari jabatannya jika ingin maju jadi caleg. “Seharusnya ada aturan lebih longgar. Misalnya, kades yang ikut pendaftaran calon legislator diberi keleluasaan hingga proses pemilihan. Nanti jika tak terpilih mereka bisa melanjutkan jabatan kadesnya,” kata dia. Menurut Bibit, aturan saat ini membelenggu ekspresi lurah dalam dunia politik.
Bibit yang juga Kepala Desa Ngestiharjo Kasihan Bantul itu mengatakan, kekhawatiran lurah yang terlibat partai politik tidak akan netral dalam melayani masyarakat tak beralasan. “Sekarang semua pejabat struktural mulai dari presiden sampai bupati saja berasal dari kalangan partai politik. Mengapa di tingkatan terbawah dilarang? Ini sangat tidak beralasan dan sangat merugikan,” kata dia.
Anggota Komis A DPRD DIY Agus Murtono mengaku mendukung aturan kades mundur jika jadi caleg. “Aturan itu bagus karena dapat menjaga independensi kades. Juga mencegah munculnya konflik di tingkatan bawah,” kata Agus yang berasal dari Fraksi Golkar. Tapi, ujarnya, larangan itu juga menyebabkan banyak kades yang masih aktif meninggalkan jabatan sebelum waktunya. “Hal ini akan menghambat penyaluran berbagai bantuan.”