Bukti pelanggaran HAM berat periode 1965-1966 yang berhasil dikumpulkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dari seluruh penjuru tanah air kecuali Papua untuk diajukan ke Kejagung untuk ditindaklanjuti. TEMPO/Dasril Roszandi
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian Republik Indonesia, Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar, berharap tayangan tindak kekerasan yang disiarkan secara berulang-ulang di televisi dihilangkan.
Sebab, menurut dia, tayangan kekerasan dan brutalisme bisa dijadikan referensi atau contoh bagi masyarakat. "Tayangan kekerasan yang bisa menimbulkan pelanggaran HAM sebaiknya dihilangkan agar ada pendidikan yang baik untuk masyarakat," kata Boy saat diskusi peringatan Hari HAM sedunia di kantor Komnas HAM, Senin, 10 Desember 2012.
Ia mengatakan, jika ada bentrok antar-etnis, polisi tidak pernah menyebutkan pelaku dan korban dari suku mana. Sebab, kata dia, jika disebutkan, bisa menimbulkan kekerasan dalam skala yang lebih luas.
Menurut dia, media merupakan sumber informasi yang dibutuhkan masyarakat. Hal itu bisa tercapai jika tayangan media tidak mengumbar brutalisme dan teror.
Selain itu, lanjut Boy, tayangan kekerasan juga tak elok jika dilihat oleh anak-anak. "Pendidikan HAM bisa dimulai dari media yang tidak mengumbar tayangan kekerasan," katanya.