Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, saat menjawab pertanyaan wartawan, di Gedung MPR/DPR, Jakarta, 24-7, 2012. Priyo Budi Santoso meminta agar hasil penyelidikan pelanggaran HAM berat peristiwa 1965-1966 tidak terulang kembali dimasa-masa depan. TEMPO/Imam Sukamto
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat mengatakan tak akan mempersoalkan keinginan publik untuk meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit kinerja terhadap lembaganya. Audit itu akan mencocokkan kesesuaian penggunaan anggaran dan capaian kerja DPR. “Audit kinerja itu bersifat umum, ya, silakan saja,” kata Priyo di kompleks parlemen Senayan, Jumat, 27 September 2012.
Menurut Priyo, idealnya setiap lembaga negara mendapatkan penilaian oleh BPK melalui audit kinerja. Hal ini juga berlaku untuk lembaga seperti Mahkamah Konstitusi dan Kepresidenan. Karena itu, tidak ada yang khusus dengan permintaan publik untuk meminta audit kinerja DPR. Apalagi, kata dia, selama ini DPR telah meminta BPK untuk melakukan audit kinerja terhadap DPR.
Keinginan untuk mengaudit kinerja DPR ini muncul setelah Komisi Hukum DPR meminta BPK melakukan audit kinerja terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Permintaan ini dinilai publik sebagai bentuk lain DPR menggempur KPK. Sebelumnya, DPR bernafsu memangkas kewenangan penting KPK, seperti penuntutan dan penyadapan dengan merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Uchok Sky Khadafi, menilai audit kinerja justru perlu lebih dulu dilakukan terhadap DPR. "Sebelum minta audit kinerja untuk KPK, seharusnya mereka melihat internalnya terlebih dulu," kata Uchok.
Uchok menilai jumlah anggaran yang diterima DPR untuk pembahasan rencana undang-undang tak sebanding dengan kinerja mereka. Pada 2011, misalnya, negara menganggarkan Rp 275,2 miliar untuk pembentukan dan pembahasan 54 RUU. Jumlah tersebut meningkat drastis dalam anggaran 2012 menjadi Rp 466 miliar untuk pembahasan 59 RUU. Namun sayangnya, kata Uchok, besarnya anggaran untuk pembahasan RUU tak diikuti peningkatan capaian RUU yang disahkan DPR.
Menanggapi hal ini, Priyo beralasan jika rendahnya capaian prolegnas disebabkan karena DPR lebih mengutamakan kualitas. Beberapa RUU diakui memiliki kesulitan yang kompleks, seperti RUU Yogyakarta yang baru saja disahkan DPR. Namun, dia yakin DPR akan bekerja optimal untuk memenuhi target prolegnas. “Kami harap minimal selesai separuhnya saja dari yang sudah ditetapkan dalam prolegnas.”