Sejumlah siswa melintasi puing-puing rumah warga Syiah yang telah dibakar massa pada kerusuhan Sampang, beberpa waktu lalu di Desa Blu'uran, Karangpenang, Sampang, Jatim, Kamis (6/8). ANTARA/Saiful Bahri
TEMPO.CO , Jakarta:Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Ifdhal Kasim mengatakan penyerangan terhadap penganut Syiah Sampang, Madura, turut disebabkan oleh persaingan politik.
Setelah menerjunkan tim untuk menyelidiki penyerangan tersebut, Komnas HAM berpendapat konflik tak murni oleh urusan agama. “Faktor agama memang salah satu pemicu, tetapi persaingan politik pemilukada juga ikut berpengaruh dalam mempertajam isu Syiah-Sunni yang mulai hidup,” kata Ifdhal kepada Tempo, Sabtu, 8 September 2012.
Komnas HAM menilai pemerintah Kabupaten Sampang tak dapat berbuat banyak untuk mengatasi konflik di sana. Ifdhal mengatakan, isu Syiah-Sunni sudah diangkat oleh kontestan dalam pemilihan kepala daerah pada periode sebelumnya dan dimanfaatkan untuk memperoleh dukungan politik. “Makanya dalam penyelesaian konflik ini Bupati Sampang tidak banyak berperan dan malah menawarkan relokasi,” tutur dia.
Pemilihan Bupati Sampang memang akan berlangsung pada 12 Desember 2012 mendatang. Sebanyak 20 calon Bupati dan Wakil Bupati telah menjalani tes kesehatan.
Pendapat tentang pengaruh kondisi politik terhadap penyerangan pemeluk Syiah Sampang, Madura, sebelumnya pernah diutarakan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan Husein Mohammad mengatakan konflik agama hanyalah kendaraan untuk membentuk sikap politik publik. "Kebanyakan konflik serupa muncul menjelang pemilihan atau peristiwa politik sejenis," katanya.
Sejak kematian pemimpin kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur, Santoso alias Abu Wardah, pada 18 Juli lalu, banyak pihak menilai hal itu sebagai keberhasilan ikhtiar negara menumpas akar-akar terorisme. Namun mungkinkah peristiwa tertembaknya seseorang dapat menjelaskan bahwa gerakan radikalisme di Indonesia telah berakhir?