Heru Kusbandono (kanan), Hakim ad hoc Pengadilan Tipikor Pontianak, tiba di gedung KPK Jakarta, (17/8). Heru ditangkap terkait kasus penyuapan dalam penanganan perkara korupsi anggaran perawatan mobil dinas dewan Pemkab Grobogan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
TEMPO.CO, Jakarta - Pekan lalu, tepat pada hari kemerdekaan RI ke-67 , Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencokok dua hakim ad hoc pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Kartini Marpaung dan Heru Kusbandono ditangkap di halaman kantor Pengadilan Negeri Semarang.
Kartini memang sehari-hari bertugas di Pengadilan Negeri Semarang, sementara Heru di Pengadilan Pontianak. Tertangkapnya Heru menimbulkan tanya. “Saya masih bingung kenapa dia bisa ngobyek di Semarang,” kata Ketua Muda Pidana Khusus Djoko Sarwoko.
Ketua Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia, Leonard P. Simorangkir, punya jawabnya. Leonard mengatakan karena sebelumnya para hakim ad hoc bekerja sebagai pengacara, mereka jadi punya jejaring ke mana-mana. “Mereka pasti banyak berkomunikasi dengan orang-orang luar. Beda dengan hakim karir,” kata Leonard ketika dihubungi, Kamis, 23 Agustus 2012.
Jejaring di luar inilah yang menurut Leonard membuat godaan mudah mengakses hakim-hakim ad hoc. Apalagi yang ditangani adalah kasus-kasus korupsi yang umumnya melibatkan pejabat negara dan politikus. “Mereka jadi gampang digoda dan tergoda,” katanya.
Untuk memberi pelajaran bagi advokat di Indonesia, Leonard mengatakan Peradi akan memberi sanksi yang tegas bagi kedua hakim itu jika terbukti bersalah. “Akan dipecat dan tak diperbolehkan beracara selamanya,” katanya.