Apa pendapat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqqodas soal pemberian remisi bagi para koruptor yang dilakukan pemerintah? Busyro mengaku tak sepakat dengan pemberian remisi atau pengurangan hukuman, khusus bagi para koruptor.

"Para koruptor di Indonesia tidak perlu dan tidak layak diberi remisi atau pengurangan hukuman," kata Busyro Muqqodas di Yogyakarta, Selasa, 30 Agustus 2011. Busyro dimintai komentarnya usai khutbah salat Idul Fitri 1432 H di Alun-alun Selatan, Yogyakarta.

Busyro beralasan, koruptor yang telah merugikan negara dan membuat sengsara rakyat miskin di negeri ini jelas tidak perlu diberikan remisi atau pengurangan hukuman.

"Mestinya mereka disamakan dengan hukuman para teroris yang tidak pernah diberikan remisi, sebab koruptor justru akan merasa senang jika memperoleh remisi," katanya.

Undang-undang tentang pemberian remisi harus diubah agar para koruptor di negeri ini tidak memperoleh remisi atau pengurangan hukuman. "Yang harus dilakukan adalah mengubah dulu undang-undang tentang pemberian remisi," katanya.

Dalam khutbah salat Ied, Busyro mengatakan bangsa Indonesia saat ini masih terus disuguhi serangkaian perilaku amoral berupa penjarahan moral dan keuangan negara.

Penjarahan itu bahkan terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya, bisnis narkoba dalam jaringan internasional dengan sasaran utama generasi muda, bahkan anak-anak tingkat sekolah dasar dan budaya hedonis.

Selain itu, korupsi terhadap keuangan negara yang sejatinya merupakan milik rakyat. Sektor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), APBD, BUMN dan sejumlah besar sumber daya alam terus- menerus dijarah oleh gerombolan koruptor.

"Penjarahan lain yang dapat dilihat adalah penyesatan pemahaman masyarakat melalui pembohongan dan pembodohan oleh sebagian elite politik," kata Busyro.

Karena itu, kata dia, umat Islam Indonesia sebagai umat pencerah dan sekaligus warga negara yang baik dan bertanggung jawab atas masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia, sudah saatnya mulai sekarang "melek politik."

Melek politik adalah kesadaran dan kesediaan untuk ikut serta secara aktif memahami bagaimana pengelolaan keuangan dan kekayaan negara ini.

Menurut dia, dalam sistem konstitusi di UUD 1945, negara berkewajiban mengelola kekayaan negeri ini untuk kepentingan rakyat. "Selain itu, juga hak untuk memperoleh informasi yang fair atau jujur tentang penyusunan dan pengelolaan APBN dan APBD, pengelolaan tanah untuk pasar tradisional, pembatasan ketat pusat belanja modern yang menjadi ancaman bagi kios-kios dan pasar rakyat," katanya.