Karawang Menanti Pelabuhan Internasional di Muara Ciparage
Kamis, 16 Juni 2011 11:50 WIB
TEMPO Interaktif, Karawang - Lelang ikan di Tempat Pelelangan Ikan Muara Ciparage, Desa Ciparage Jaya, Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, baru saja memasuki masa jeda ketika matahari berada tepat di atas ubun-ubun.
Hanya selemparan dari lokasi tempat pelelangan yang dikelola Koperasi Unit Desa Mina Singaperbangsa itu, para nelayan yang sedang jeda melaut dan menambatkan perahunya di saluran Sungai Cibulan-bulan, tampak mengisi waktunya dengan merajut jaring yang bolong dan mesin-mesin perahu yang ngadat.
Nelayan lainnya yang tak melempar ikan hasil tangkapannya ke tempat lelang ramai memperdagangkannya di tubir Sungai Cibulan-bulan. Terik matahari tak menghalangi mereka melakukan aktivitas jual beli. Suasana pun tampak meriah.
Di lokasi garis pantai Muara Ciparage yang dihuni oleh sekitar 2.000 nelayan yang bersuasana damai itu, kini bertiup kencang kabar ihwal rencana pembangunan pelabuhan raksasa bertaraf internasioanal. Tapi, para melayan Ciparage menangkap kabar itu dengan reaksi biasa-biasa saja.
"Belum ada pengaruh apa pun," kata Ismail, salah seorang nelayan di sana. Soalnya, kabar pembangunan pelabuhan internasional itu baru sebatas rencana. Proses sosialisasi pun belum ada "Entah nanti jika sudah ada action," timpal Talkim, tokoh nelayan Ciparage kepada Tempo.
Menurut Ismail, sosialisasi ihwal rencana pembangunan pelabuhan internasional Ciparage yang diikutinya sebagai salah satu perwakilan dari nelayan baru sampai level kecamatan. Jadi, para nelayan sebagai penghuni bumi pesisir Ciparage belum mengetahuinya secara pasti.
"Yang saya tahu dari hasil sosialisasi di kecamatan bersama konsultan dari Jepang, pelabuhan itu akan dibangun empat kilometer dari garis pantai atau muara," tutur Ismail. Pembangunan dijanjikan tidak akan mengganggu "habitat" para nelayan, termasuk melakukan penggusuran atas tanah mereka.
Ismail mengatakan, pada prinsipnya para nelayan menyambut baik kehadiran pelabuhan tersebut. Asalkan dapat memberikan nilai tambah buat mereka.
Agar terjadi sinkronisasi antara kepentingan pembangunan pelabuhan dengan nelayan berdasarkan hasil studi kelayakan, Ismail lalu melemparkan usulan supaya pihak konsultan membuat jembatan terapung antara garis pantai dan pelabuhan. Maksudnya adalah supaya para nelayan bebas melakukan aktivitas perburuan ikannya.
"Kami usulkan tinggi jembatan itu minimal di atas tujuh meter dengan lebar lima meter," imbuh Ismail. Supaya, kapal ikan nelayan yang berukuran rata-rata tinggi tujuh meter dan lebar empat meteran itu tidak nyangkut.
Kemudian karena keberadaan pelabuhan internasional tersebut kelak pasti akan menganggu areal tangkapan ikan para nelayan Ciparage, juga diusulkan agar pemerintah menyiapkan kompensasi dalam bentuk peningkatan sumber daya manusia terhadap putra-putri nelayan dalam bentuk pendidikan keterampilan formal.
"Supaya anak-anak kami bisa beradaptasi dengan lingkungan pelabuhan, sekaligus mendapatkan pekerjaan dengan keterampilan yang mereka miliki," pungkas Ismail.
NANANG SUTISNA