Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menilai radikalisme di Indonesia sudah pada tingkatan "lampu merah" atau sangat membahayakan. Karena itu organisasi Islam terbesar di Indonesia itu meminta negara untuk segera bertindak tegas.

"Ini sudah lampu merah, sudah emergency," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj, Selasa 26 April 2011.

Said Agil menambahkan, terungkapnya pelaku teror bom beberapa pekan terakhir menunjukkan indikasi itu. Pelaku bom itu berasal dari kalangan terpelajar. Mereka juga memiliki perekonomian yang baik. Itu berbeda dengan pelaku bom saat Bom Bali atau Bom Marriot. Keadaan itu, kata Said Agil, menunjukkan radikalisme telah menyentuh kalangan menengah.

Said Aqil juga merujuk hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang menunjukkan lebih dari 49 persen pelajar di Jakarta dan sekitarnya cenderung setuju menempuh aksi kekerasan untuk menyelesaikan masalah agama dan moral.

Survei yang digelar selama Oktober 2010-Januari 2011 tersebut dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri dengan responden 590 guru pendidikan agama Islam di SMP dan SMA, 993 siswa SMP umum kelas VII dan IX, serta siswa SMA kelas X, XI, XII.

Selain itu, menurut Said Aqil, jaringan kelompok radikal juga sudah sampai ke tingkat desa, tidak hanya terkonsentrasi di kota."Ini jelas bahaya sekali. Radikalisme sudah sempurna, punya sistem, orang, pelatih, dan sumber dana," kata Said Aqil.

Menurutnya, merebaknya radikalisme bukti kegagalan Kementerian Agama menjalankan tugasnya membangun, mengawal, dan meningkatkan moralitas dan spiritualitas bangsa.

Said Aqil mengatakan perlu penanganan secara komprehensif untuk menanggulangi radikalisme, mulai dari pendekatan konstitusi khususnya memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa Indonesia bukan negara agama, pendekatan ekonomi, sosial budaya, hingga keamanan."Ini butuh `political will` pemerintah dan DPR," kata alumni Universitas Ummul Qura, Arab Saudi tersebut.

Yang tidak kalah penting dilakukan, menurut Said Aqil, adalah mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dengan dihilangkannya ketidakadilan di bidang hukum, politik, ekonomi, dan lainnya.

"Selama masih seperti itu, pemerintah tidak akan dipercaya. Nasihat, arahan, khutbah tidak ada artinya. Suara NU sampai habis pun tidak ada artinya," katanya.

Dikatakannya, radikalisme agama memang bukan asli Indonesia, tetapi datang dari luar dan mendapat sokongan dari luar. ikatakannya, setidaknya ada 12 organisasi atau yayasan di Indonesia yang mengajarkan teologi radikal dan mendapat dukungan dana dari Timur Tengah terutama Arab Saudi.

Menurut Said Aqil, kepentingan politik, terutama pihak yang mencoba meraih simpati dari kalangan Islam, turut memiliki andil bagi tumbuh suburnya radikalisme. Demi kepentingan politik, kelompok-kelompok radikal justru "dilindungi"."Kita tuntut keberanian pemerintah untuk menindak gerakan radikal atas nama apapun," katanya.

WDA | ANT