NU mengimbau, khususnya para kyai, untuk menolak memberi penghormatan berupa doa atau mensholatkan orang yang terbukti tersandung kasus korupsi. “Kami tidak setuju sekali jika hukuman mati bagi koruptor dihilangkan,” Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj pada penutupan Rapat Pleno Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PBNU di Pondok Pesantren Krapyak Bantul, Yogyakarta Senin (28/3).
Menurut Siradj, NU melalui Munas di Pondok Gede dulu sudah bersikap bahwa koruptor harus dihukum mati. “Dan kyai-kyai tidak boleh nyolati (mensholatkan) jenazah koruptor,” katanya.
Dia mengungkapkan, “Memang orang mati harus disholatkan, tapi untuk koruptor, jangan kyai yang mensholatkan. Cukup orang-orang sekitarnya saja, satpamnya, penjaga kebunnya, itu lebih dari cukup”.
Siradj menilai hukuman mati harus ada dalam pasal undang-undang tindak pidana korupsi. Sebab, pasal itulah yang bisa memberikan rasa takut untuk menekan tumbuh suburnya korupsi di Indonesia.
Siradj mengatakan, dalam penyusunan RUU Tipikor ini seharusnya bisa menjadi peluang untuk bisa membuat pemerintahan yang lebih bersih (good governance), bukan malah semakin memperlemah. “Kita harapkan keseriusan semua pihak untuk mengawal dan mewujudkan RUU Tipikor semakin baik dan efektif menekan korupsi di Indoensia,” katanya.
Sebelumnya, dalam pengamatan Indonesian Corruption Watch disebutkan setidaknya ada sembilan kelemahan revisi UU Tipikor. Ada sejumlah pasal yang direvisi justru membuat UU Tipikor menjadi lemah dan kompromis dibanding UU Nomor 31/1999 dan UU Nomor 20/2001. Di antaranya penghapusan hukuman mati dan potensi kriminalisasi bagi pelapor kasus korupsi.
PRIBADI WICAKSONO