AJI: Upah Jurnalis Masih Rendah  

Reporter

Editor

Selasa, 28 Desember 2010 15:37 WIB

TEMPO/Nita Dian
TEMPO Interaktif, Jakarta - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nezar Patria, mengatakan, pihaknya mendapati masih banyak jurnalis yang belum menerima upah dan fasilitas kesejahteraan yang layak. Sebagian jurnalis bahkan menerima gaji di bawah standar upah daerahnya.

"Berdasarkan survei AJI Indonesia terhadap 192 jurnalis dari 48 media di tujuh kota; Jakarta, Banda Aceh, Medan, Lampung, Bandung, Solo, dan Palu, pada Maret lalu, ternyata masih ditemukan ada jurnalis yang digaji di bawah standar Upah Minimum Kota atau Kabupaten," ujarnya di Jakarta, Selasa (28/12).

Sementara survei yang dilakukan AJI Kupang pada November 2010 lalu, menemukan masih ada media di Nusa Tenggara Timur yang menggaji jurnalisnya di bawah angka Upah Minimum Provinsi (UMP), Rp 850 ribu.

Harian Kota Kursor, Nezar mencontohkan, masih menggaji jurnalisnya Rp 650 ribu per bulan. Jumlah tersebut sudah termasuk uang transportasi. Sedangkan Tabloid Aktualita di Kupang, juga hanya membayar jurnalisnya Rp 750 ribu per bulan. Asuransi kesehatan maupun asuransi keselamatan kerja, bahkan tak bisa dinikmati jurnalis Aktualita.

Pemberian upah yang rendah, apalagi di bawah standar upah kota, dikhawatirkan AJI berdampak negatif terhadap kinerja jurnalis. "Upah yang rendah dikhawatirkan bisa membuat jurnalis menjadi pragmatis, rentan terhadap suap, dan tidak independen terhadap kekuatan di luar profesinya," kata Nezar.

Selain melakukan survei gaji jurnalis di sejumlah kota, AJI pada tahun ini juga mencatat maraknya jurnalis non-organik atau koresponden, sebagai ekses dari perkembangan industri media.

Nezar menilai koresponden rentan mendapat perlakuan diskriminatif dalam bisnis media. Sebab koresponden sering bekerja dengan kontrak kerja yang tak jelas dan tanpa jaminan asuransi atau kesehatan.

Yang lebih memprihatinkan, kini makin marak ditemui fenomena 'stringer', atau koresponden-nya koresponden. Stringer, disebut Nezar, terancam mendapat perlakuan lebih buruk dari koresponden, karena tidak terdaftar sebagai pekerja resmi perusahaan.

Parahnya, produk jurnalistik stringer umumnya diklaim sebagai hasil karya sang koresponden. "Praktik kerja semacam ini selain bertentangan dengan kode etik jurnalistik, juga lebih parah dari sistem outsourcing yang banyak ditolak oleh kalangan pekerja," ujar Nezar.

Isma Savitri

Berita terkait

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

11 jam lalu

7 Tahun Berdiri, AMSI Dorong Ekosistem Media Digital yang Sehat

Selama tujuh tahun terakhir, AMSI telah melahirkan sejumlah inovasi untuk membangun ekosistem media digital yang sehat dan berkualitas di Indonesia.

Baca Selengkapnya

AJI Gelar Indonesia Fact Checking Summit dan Press Freedom Conference

14 jam lalu

AJI Gelar Indonesia Fact Checking Summit dan Press Freedom Conference

AJI menilai kedua acara ini jadi momentum awal bagi jurnalis di Indonesia dan regional untuk mempererat solidaritas.

Baca Selengkapnya

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

29 hari lalu

3 Anggota TNI AL di Halmahera Selatan Lakukan Penganiayaan Jurnalis, Begini Kecaman dari Dewan Pers, AJI, dan KontraS

Penganiayaan jurnalis oleh 3 anggota TNI AL terjadi di Halmahera Selatan. Ini respons Dewan Pers, AJI, dan KontraS. Apa yang ditulis Sukadi?

Baca Selengkapnya

AJI Ternate Kecam Penganiayaan terhadap Jurnalis di Bacan

34 hari lalu

AJI Ternate Kecam Penganiayaan terhadap Jurnalis di Bacan

Kekerasan yang dilakukan anggota TNI Angkatan Laut itu merupakan bentuk penghalangan terhadap kerja jurnalistik yang tidak sepatutnya terjadi.

Baca Selengkapnya

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023: Ormas dan Polisi Paling Berpotensi Lakukan Kekerasan

34 hari lalu

Indeks Keselamatan Jurnalis 2023: Ormas dan Polisi Paling Berpotensi Lakukan Kekerasan

Ormas dan kepolisian dianggap paling berpotensi melakukan kekerasan terhadap jurnalis.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Tak Masukkan Perusahaan Pers dalam Komite Publisher Rights, Ini Alasannya

58 hari lalu

Dewan Pers Tak Masukkan Perusahaan Pers dalam Komite Publisher Rights, Ini Alasannya

Komite Publisher Rights bertugas menyelesaikan sengketa antara perusahaan pers dan perusahaan platform digital.

Baca Selengkapnya

Dewan Pers Bentuk Tim Seleksi Komite Publisher Rights

58 hari lalu

Dewan Pers Bentuk Tim Seleksi Komite Publisher Rights

Ninik mengatakan, Komite Publisher Rights penting untuk menjaga dan meningkatkan kualitas jurnalistik.

Baca Selengkapnya

Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan

23 Februari 2024

Ekonom Sebut Penerapan Perpres Publisher Rights Harus dengan Prinsip Keadilan

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan Perpres Publisher Rights mesti diterapkan dengan prinsip keadilan.

Baca Selengkapnya

Jokowi Teken Perpres Publisher Rights, Atur Kerja Sama Lisensi hingga Bagi Hasil Platform Digital dengan Perusahaan Pers

23 Februari 2024

Jokowi Teken Perpres Publisher Rights, Atur Kerja Sama Lisensi hingga Bagi Hasil Platform Digital dengan Perusahaan Pers

Pemerintah bakal mengatur hubungan kerja sama platform digital dengan perusahaan pers setelah Presiden Jokowi meneken Perpres Publisher Rights.

Baca Selengkapnya

Perpres Publisher Rights Disahkan, Meta Yakin Tak Wajib Bayar Konten Berita ke Perusahaan Media

22 Februari 2024

Perpres Publisher Rights Disahkan, Meta Yakin Tak Wajib Bayar Konten Berita ke Perusahaan Media

Meta menanggapi Perpres Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas.

Baca Selengkapnya