Hadir dalam penandatanganan tersebut tokoh-tokoh hak asasi manusia (HAM) dan pro-demokrasi seperti Munir, Asmara Nababan, Todung Mulya Lubis, Karlina Leksono, MM Bilah, Munarman, Ifdal Kasim, Arbi Sanit, Yeni Rosa Damayanti, Teten Masduki, Wardah Hafidz, Smitha Notosusanto, Binny Buchori, dan Emmy Hafild. Tokoh lain seperti Faisal Basri dan Irianto Subiakto, turut menandatangani maklumat meskipun tidak hadir saat pembacaan.
Isi maklumat itu adalah kekhawatiran para tokoh tersebut akan kembalinya militer ke panggung politik nasional, dengan memanfaatkan situasi kacau yang saat ini sedang terjadi di Indonesia. Mereka juga menganggap politik saat ini telah dibuat oleh para pelakunya menjadi sesuatu yang makin terasing dari rakyat banyak: suram dan kotor, keji dan kasar. Menurut mereka, peluang berdemokrasi dan pluralitas politik tidak dipraktekkan sebagai sarana pendidikan dan pendewasaan bagi rakyat, tapi dimanfaatkan untuk saling menekan dan memeras.
Maklumat juga berisi penolakan para tokoh ini, atas setiap usaha dari militer untuk kembali berpolitik. Mereka juga menyerukan kepada rakyat untuk bekerja bersama-sama mencegah terjadinya hal itu. “TNI bukan dinamisator, stabilisator, dan katalisator. Selamanya harus dicegah dari kemungkinan menjadi faktor dalam kehidupan politik dan demokrasi,” demikian bunyi sebagian maklumat itu.
"Ancaman munculnya kembali militer jelas sudah ada di depan mata," kata MM Bilah. Ancaman itu, menurut Munir, tampak ketika militer sudah menampilkan dirinya dalam sosok sebuah kekuatan politik tersendiri, baik melalui sikapnya di parlemen, maupun melalui pernyataan-pernyataan pemihakan politiknya. "Proses perubahan ini tidak boleh dibalik lagi dengan kehadiran militer. Kita tidak bisa kompromi lagi soal hal itu. Kita harus menolak militer berpolitik, apa pun dan berapa pun ongkosnya," tegas Todung Mulya Lubis.
Para tokoh ini juga meminta kepada semua pihak, termasuk pers, untuk memberi sumbangan pada usaha untuk mencegah masuknya kembali militer dalam ruang politik. Pers diminta untuk tidak memberikan ruang bagi komentar-komentar dari kalangan TNI terhadap masalah-masalah politik. "Tanya kepada militer soal-soal teknis pertahanan, yang memang menjadi tugas mereka. Tapi jangan tanya kepada mereka soal sikap terhadap sidang istimewa atau dekrit presiden, karena itu berarti kita turut memancing mereka masuk kembali dalam ruang politik," kata Wakil Ketua Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Munir.
Meski tidak terkait dengan keluarnya Maklumat yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, namun tampaknya Maklumat Demokrasi ini menjadi ‘jawaban’ dari maklumat tersebut. Sebab, dalam Maklumatnya, Gus Dur memberi ruang yang besar kepada Mekopolsoskam dalam mengambil sejumlah kebijakan politik. (Y Tomi Aryanto)