Berdasarkan data yang dihimpun ILO, tren pelecehan seksual di tempat kerja terus meningkat. Di Uni Eropa, 30-50 persen perempuan dan 10 persen laki-laki mengalami pelecehan seksual di tempat kerja, di kawasan Asia Pasifik ada sebanyak 30-40 persen karyawan. Khusus di Asia, sebanyak 18 persen karyawan di Cina dan 16 persen pegawai di Arab Saudi juga mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Peter mengatakan, dampak buruk pelecehan seksual yakni menyebabkan frustrasi dan melunturkan kepercayaan diri pada korbannya. Pada beberapa kasus, korban pelecehan akhirnya sering bolos kerja dan akhirnya kehilangan mata pencaharian. "Perusahaan juga bisa kehilangan pekerja yang terampil, serta kekurangan kemampuan bersaing karena citra instansi yang terus menurun," kata dia dalam seminar bertajuk 'Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja' di Hotel Borobudur, Selasa (23/11).
Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pinky Saptandari mengatakan, posisi tawar tenaga kerja perempuan umumnya lebih lemah sehingga lebih rentan terhadap kekerasan fisik dan psikis. Tenaga kerja perempuan juga lebih memperhatikan kewajibannya dan kurang memahami tentang hak-haknya di tempat kerja. "Padahal ada pemberian cuti hamil dan melahirkan, cuti haid dan menyusui," kata dia.
Di Indonesia, lanjutnya, kasus pelecehan seksual di tempat kerja relatif sedikit. Bukan karena jumlahnya sedikit, tapi karena korban pelecehan seringkali enggan melaporkan kejadian yang menimpa mereka. Selain itu, perangkat hukum yang mengatur secara khusus dan rinci tentang mekanisme pelaporan dan perlindungan juga belum ada. "Hanya ada KUHP, tentang pencabulan, persetubuhan dengan wanita di bawah umur. Padahal pelecehan seksual tidak hanya itu," imbuhnya.
Ia mengharapkan pedoman pencegahan pelecehan seksual di tempat kerja yang segera diterbitkan pemerintah bisa menjadi aturan resmi di semua perusahaan dan diketahui oleh semua karyawan. Prosedur pengaduan nantinya juga harus jelas jika nanti ada karyawan yang melaporkan adanya pelecehan seksual di tempat kerja.
Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofjan Wanandi, penerapan pedoman pencegahan pelecehan seksual harus disesuaikan dengan adat istiadat yang ada di masyarakat. Sebab, perbedaan suku, agama, etnis, menyebabkan penilaian terhadap terjadinya pelecehan juga berbeda-beda.
Sofjan mengatakan, pedoman yang diterbitkan pemerintah setidaknya dapat dijadikan sebagai upaya preventif di setiap tempat kerja, sehingga dapat mencegah terjadinya pelecehan seksual. Ia mendukung penuh penyusunan pedoman dan sosialisasinya. "Ini pekerjaan rumah untuk pimpinan perusahaan dan serikat pekerja. Apalagi tindakan hukum di negara kita dirasa kurang sekali," ujarnya.
MAHARDIKA SATRIA HADI