Menurut Djamari, TNI beranggapan, kasus yang menewaskan mahasiswa ini bukan merupakan serangan yang dilakukan secara sistematis. Berulang-ulang ia menegaskan kasus itu sebaiknya diselesaikan dengan menggunakan hukum positif. Permintaan itu sempat mendapat komentar keras dari anggota Pansus dari Fraksi Kebangkitan Bangsa, Effendi Choirie. “Justru info yang kami terima, hal itu sudah pelanggaran, bahkan pelanggaran HAM berat,” ujar Effendi disambut tepuk tangan hadirin.
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) menggolongkan tiga kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat. Ketua Komnas HAM, Djoko Soegijanto telah menyampaikan hal tersebut kepada Pansus Trisakti.
Djamari mengakui TNI memiliki senjata M-16A2 yang menurut hasil penelitian Puslabfor Mabes Polri dan laboratorium di Kanada dan Singapura diduga kuat digunakan untuk membunuh mahasiswa yang menjadi korban dalam kasus-kasus tersebut. Tetapi kata Djamari, senjata tersebut hanya digunakan sebagai alat instruksi di lembaga pendidikan. “Di lapangan tidak ada satuan yang menggunakan M-16A2,” ujarnya dengan nada keras. Sedangkan di dua sidang Pansus yang lalu, dua mantan Pangdam Jaya, Mayor Jenderal Syafrie Syamsudin dan Letnan Jenderal Djaja Suparman, membantah TNI memiliki senjata M-16A2.
Sementara itu, Wakapolri, Irjen Pol. Jun Mulyana, mengungkapkan institusi Polri tidak bermaksud untuk menutupi kasus-kasus tersebut. Ia berharap kasus itu bisa diselesaikan secara baik, “kita tidak mau institusi Polri menjadi bulan-bulanan,” tandasnya.
Sidang Pansus hari ini direncanakan akan menghadirkan Kapolri Jenderal Polisi Bimantoro dan Panglima TNI Jenderal Widodo AS. Namun kedua jenderal tersebut tidak hadir karena menghadiri acara kenegaraan di Istana Negara.
Rapat Pansus yang dipimpin oleh Abdullah Syarwani ini, dihadiri juga oleh beberapa pejabat militer seperti Staf Ahli Panglima TNI, Mayjen Syafrie Syamsuddin dan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Letjen Djasri Marin, serta Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Marsda Graito Usodo.
Besok (22/5), Pansus akan memanggil pakar hukum untuk dimintai pendapatnya mengenai hak asasi manusia. Mereka adalah praktisi hukum Mulyana Kusumah, hakim agung Muladi, dan praktisi hukum Adnan Buyung Nasution.
Sementara itu, Aliansi Korban Kekerasan Negara (AKKRA) dan Paguyuban Persaudaraan Trisakti (Paperti) 12 Mei 1998 menuntut agar Pansus merekomendasikan kepada pemerintah untuk menggolongkan kasus ini sebagai pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu, Paperti meminta agar kasus ini ditindaklanjuti dengan menyeret para tersangka ke pengadilan HAM.
Dalam surat edarannya, AKKRA menentang keras bantahan Jenderal Wiranto yang menganggap bahwa kasus penembakan tersebut sebagai tindak pidana umum. Mereka menyayangkan hingga saat ini belum ada satupun petinggi militer (Polri atau TNI AD) yang mau bertanggung jawab atau menunjukkan siapa yang paling bertanggungjawab atas kasus itu. (Anggoro Gunawan)