Keluarga Paku Alam VIII Gugat Direktur Rumah Sakit Ludira Husada
Kamis, 29 Juli 2010 15:51 WIB
TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Setelah dua gugatan yang diajukan sebelumnya kandas lantaran kurang lengkap, anak dari almarhum Sri Paduka Paku Alam VIII, Kanjeng Pangeran Haryo Anglingkusumo, kembali mempersiapkan gugatan kepada Direktur Utama Rumah Sakit Ludira Husada Tama Budi Agung.
Pasalnya, Budi yang juga pemilik rumah sakit tersebut telah merangkap jabatan sebagai dirut sehingga melanggar Surat Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik nomor YM.02.04.3.5.02270 Tahun 1996 tentang Tugas Pokok, Peran, dan Fungsi antara pemilik, dewan penyantun dan pengelola rumah sakit swasta dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
“Bahkan rangkap jabatan itu sudah 20 tahun ini,” kata Anglingkusumo yang juga sebagai pemilik dan komisaris utama rumah sakit tersebut di Resto Pacific Yogyakarta, Kamis (29/7) siang.
Pelanggaran peraturan tersebut diklaim Anglingkusumo telah mengakibatkan Budi melakukan tindakan-tindakan tidak profesional. Seperti pengangkatan tenaga kerja tidak berdasarkan keahlian yang dibutukan sehingga dikhawatirkan dapat merugikan rumah sakit. Rumah Sakit Ludira Husada Utama adalah rumah sakit yang didirikan Paku Alam VIII pada 1986.
Sejauh ini, Anglingkusumo telah melakukan upaya, seperti menggelar rapat umum pemegang saham terakhir berlangsung pada 4 Agustus 2009. Permintaan pergantian dirut dalam RUPS, menurut Anglingkusumo, ditolak Budi. Lantaran sejak pergantian status rumah sakit dari yayasan menjadi perseroan terbatas pada 2001 telah disepakati bersama, bahwa pembagian saham adalah 50:50, bukan 40:60.
“Saya terpaksa setuju, karena notarisnya adalah adik kandung Saudara Budi,” kata Anglingkusumo.
Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada Pasal 52 disebutkan, bahwa notaris tidak diperbolehkan membuat akta yang para pihaknya ada hubungan darah hingga derajat ketiga.
“Jadi sejak awal keputusan 50:50 itu batal demi hukum,” kata notaris Daliso Rudianto memberikan pendapatnya.
Upaya lain yang dilakukan adalah melaporkan kasus tersebut ke Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, namun tidak ada tindak lanjutnya. Pengajuan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Kota Yogyakarta pada 2006 dan 2007 juga gagal karena data kurang lengkap. Pasalnya, gugatan tersebut menempatkan posisi Anglingkusumo sebagai pribadi, bukan sebagai pemilik atau komisaris utama.
“Kami akan mengajukan gugatan ketiga dengan perbaikan isi gugatan,” kata kuasa hukum Angkingkusumo, Bastari Ilyas.
Saat dihubungi Tempo, Budi menolak memberikan tanggapan. “Maaf, untuk yang ini saya tidak bersedia menanggapi,” kata Budi buru-buru sembari menutup telepon genggamnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA