TEMPO Interaktif, Jakarta:Mantan Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osorio Soares diancam maksimal hukuman mati dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) sebelum, saat dan sesudah jajak pendapat penentuan kemerdekaan Timor Timur pada 1999. Jaksa Penuntut Umum ad hoc I Ketut Murtika membacakan dakwaan setebal 20 halaman pada persidangan pengadilan HAM ad hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (14/3). Murtika mendakwa Soares telah melanggar pasal 42 (2 a dan b) cis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 UU No 26/2000 tentang pengadilan HAM. Hal tersebut dianggap pelanggaran HAM berat karena mengabaikan terjadinya penyerangan, penganiayaan dan pembunuhan penduduk sipil pro kemerdekaan Timor Timur. Padahal, kata Murtika dalam dakwaannya, Soares menerima informasi yang jelas dalam aksi penyerangan oleh kelompok pro integrasi. Sebagai gubernur Timor Timur pada 1999, Soares dianggap bertanggung jawab secara pidana dalam pelanggaran HAM berat tersebut meski pembunuhan dilakukan oleh bawahannya yakni bupati Liquisa Leonito Martins, Bupati Covalima Herman Sedyono dan Wakil Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Eurico Gutteres. Aksi penyerangan itu, kata Murtika, diketahui secara sadar oleh Soares, namun ia mengabaikan terjadinya aksi tersebut sehingga nyawa puluhan penduduk sipil melayang. Penyerangan oleh kelompok pro integrasi itu dilakukan di beberapa tempat. Slah satunya, kediaman pastor Rafael Dos Santos yang menyebabkan 22 orang tewas dan 12 orang luka-luka. Tempat lainnya adalah kediaman Manuel Viegas Carrascalao yang menyebabkan 12 orang tewas dan empat lainnya luka-luka. Pada 4 dan 5 September 1999, sebanyak 46 orang pengungsi di Diosis Dilli meninggal dalam penyerangan oleh kelompok pro integrasi. Sedangkan penyerangan di rumah uskup Bello, jumlah korban meninggal berjumlah 10 orang dan luka-luka tercatat satu orang. Penyerangan di Gereja Ave Maria menyebabkan 27 orang meninggal. Soares juga dianggap sebagai penggagas pembentukan organisasi politik Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan sebelum jajak pendapat dilakukan. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh seluruh bupati di wilayah Timor Timur ini dibentuk juga Pam Swakarsa untuk mengamankan Timor Timur. Soares dalam persidangan itu didampingi oleh penasehat hukumnya Juan Felix Tampubolon dan Idrianto Senoadji. Usai sidang, Idrianto kepada pers mengatakan, dengan dakwaan jaksa tersebut pihaknya akan mengajukan legislatif review kepada MPR. Para pengacara berpendapat jika pasal 43 UU 26/2000 dianggap tidak berlaku surut karena telah ada amandemen UUD 1945 pada 2001 pasal 28i, maka persidangan harus dihentikan. Selain itu, "Kami juga akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung," kata Indrianto. Judicial review, kata Indrianto, akan mempertanyakan soal PP No 2/2002 tentang perlindungan saksi yang menyebutkan saksi boleh untuk tidak bertatap muka dengan tersangka pelanggaran HAM Berat. Abilio Soares yang mengenakan stelan jas hitam enggan berkomentar kepada wartawan usai persidangan selama sekitar satu jam itu. Pengadilan HAM ini merupakan kasus yang pertama kali digelar di Indonesia. Sidang yang dipimpin Hakim Ketua Emmy Marni Muchtar dan empat orang hakim anggota itu akan dilanjutkan pada 21 Maret 2002 mendatang. Sidang hari itu juga diikuti oleh para para wartawan baik dalam dan luar negeri. Mantan Wakil Panglima Perang Timtim Eurico Gutterers juga tampak hadir dalam persidangan itu. (Bagja Hidayat-Tempo News Room)
Berita terkait
Dewan Pers Minta Wartawan yang Jadi Kontestan atau Tim Sukses di Pilkada 2024 Mundur
6 menit lalu
Dewan Pers Minta Wartawan yang Jadi Kontestan atau Tim Sukses di Pilkada 2024 Mundur
Insan media yang terlibat dalam kontestasi atau menjadi tim sukses pada Pilkada 2024 diminta mengundurkan diri sebagai wartawan