LSM Desak Presiden Keluarkan Perpres Batalkan Qanun Jinayat
Kamis, 5 November 2009 18:03 WIB
"Kami mendesak Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden untuk pembatalan Qanun Jinayat sesuai dengan peraturan yang berlaku," ujar Sri Endras Iswarini, Staf Peneliti Lingkaran Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan - Kapal Perempuan, dalam audiensi di Departemen Dalam Negeri, Kamis (5/11)
Jaringan Masyarakat yang teridir dari Komisi Nasional Perempuan, Kapal Perempuan, Dewan Pers, Elsam HRWG, dan 10 organisasi lainnya mengadakan audiensi dengan Departemen untuk pembatalan qanun jinayat.
Menurut Iswarini, Departemen mempunyai mandat untuk memberi masukan pada beberapa Peraturan Daerah yang bermasalah. Pihaknya mempertanyakan status qanun, yang meski ditandatangani Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, tapi tidak ditandatangani Gubernur Nangroe Aceh Darussalam. " Posisinya seperti apa," imbuhnya.
Hartoyo dari Our Voice menyatakan pemberlakukan qanun jinayat bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yakni UUD 1945 dan UU Hak Asasi Manusia (UU No. 39/199). Qanun Jinayat dinilai melanggar hak asis manusia karena hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Apalagi Indonesia telah memiliki ratifikasi konvensi anti penyiksaan (UU No.5/1998).
"Sebenarnya perlu diteliti lagi, apakah seluruh masyarakat Aceh ingin Qanut atau tidak," ujarnya. Bagi mereka yang menolak, Hartoyo menambahkan, kerap diberi stigma kafir, setan dan pembenci islam, dan stigma tersebut didukung media lokal.
Lily Pulu dari Lembaga Bantuan Hukum Pers mengungkapkan keresahan berlakunya qanun jinayat baru ditangkap segelintir masyarakat dengan pendidinkan lebih baik maupun lembaga swadaya masyarakat. "Ibu-ibu di Aceh banyak yang belum paham dan tak tahu resikonya," paparnya. Maka situasi di Aceh terlihat seperti tidak ada gejolak.
Bahkan dari golongan elitis pun, Lily menambahkan, terpecah dua, baik yang mendukung maupun kontra.
Kepala Bagian Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Dalam Negeri Zudan Arif fakrullah menyatakan baru satu Peraturan Presiden yang membatalkan qanun di Aceh. Peraturan Presiden Republik Indonesi Nomor 87 tahun 2006 berisi tentang pembatalan pasal 33 ayat 2 Qanun Aceh No.7 tahun 2006 yang mengatur pemilihan kepala daerah di Aceh.
Menurut Zudan, Departemen kini sedang menginisiasi peran Menteri Dalam Negeri dalam revisi UU Otonomi Daerah (UU No.32/2004). "Ada inisiasi bahwa pembatalan Peraturan Daerah tidak lagi ke Presiden, melainkan Menteri Dalam Negeri," urainya.
Kalau pemerintah daerah berkeberatan terhadap pembatalan tersebut, maka boleh diajukan suratnya ke Presiden. "Keputusannya ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat," jelas Zudan. Ia mengakui Departemen mempunyai kewenangan yang terbatas dalam menertibkan peraturan daerah yang bermasalah. PIhaknya hanya berwenang untuk mengatur peraturan daerah yang terkait pemerintahan. Tapi, ia menegaskan, kami bisa memberi masukan pada pemerintah pusat terkait peraturan daerah yang menganggu pemerintahan daerah.
DIANING SARI