Kebijakan itu baru saja digagas antara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Duta Besar Republik Indonesia untuk Negara Tunisia, Kamis (5/11).
"Untuk tahap awal kerjasama dengan Tunisia tidak apa-apa," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan pemprov Jatim, Zaenal Abidin.
Kata Zainal, saat ini pemprov Jatim sedang menggagas kerjasama bidang perdagangan dengan Tunisia. Jatim, diminta memasok bahan baku bambu untuk diolah menjadi bahan kerajinan, furniture, dan kain untuk industri garmen.
Dalam kerjasama ini, kata dia, Indonesia diuntungkan karena pengerajin bambu, furniture, dan tenaga industri garmen yang dipekerjakan di Tunisia, semuanya dipasok dari Indonesia. "Ini kan bisa mengurangi pengangguran," katanya.
Celakanya, setelah hasil produksi jadi, nama produk tidak boleh diakui sebagai produk Indonesia, tapi harus menjadi produk Tunisia. "Tidak apa-apa, yang penting masyarakat untung," ucapnya.
Duta Besar RI untuk Tunisia, Muhammad Ibnu Said menjelaskan, kebijakan Negara Tunisia mengatakan jika 40 persen proses produksi barang dikerjakan di Tunisia, produk tersebut akan diakui menjadi milik negara.
Said melanjutkan, peluang itu sebenarnya menguntungkan Indonesia. Produk Indonesia, yang kepemilikanya diubah atas nama Tunisia, bisa cepat laku dipasaran Uni Eropa. Selain itu, pajak produksi dan perdagangan juga ringan. Apalagi, Tunisia dan Uni Eropa sudah meneken kerjasama Free Trade Are (FTA). Jika Tunisia menjual produknya ke Uni Eropa, kata Said, nilai pajaknya 0 Persen.
M. TAUFIK