TEMPO Interaktif, Kupang:Pemerintah dinilai kurang serius menangani masalah gizi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kondisi ini menyebabkan jumlah korban tewas bertambah seorang menjadi 22 orang. Korban tewas terakhir adalah Marselina Sulla (7 bulan), warga Desa Oenaek, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang di RSUD WZ Yohannes Kupang."Kebijakan anggaran yang diterapkan pemerintah lebih banyak berorientasi proyek. Sedangkan hak asasi manusia maupun hak hidup balita dan anak-anak diabaikan," kata Direktur Perkumpulan Pengembangan Inisiatif Masyarakat (PIAR) NTT, Sarah Lery Mbuik di Kupang, Sabtu (14/6).Lery mencontohkan, Pemrov NTT membangun rumah jabatan gubernur dengan menghabiskan anggaran Rp 15 miliar, sementara untuk penanganan gizi buruk hanya dialokasikan Rp 2 miliar. Apabila dana Rp 2 miliar dibagikan kepada 512.407 balita, maka setiap balita hanya mendapat alokasi dana Rp 4.000."Apakah wajar kalau seorang balita terjamin kesehatannya dengan Rp 4.000," kata Lery. Menurutnya, kasus yang sama ditemukan di Kota Kupang, di mana tahun lalu pemerintah setempat membangun rumah jabatan wali kota dengan menghabiskan anggaran Rp 15 miliar, sedangkan anggaran khusus untuk penanganan gizi buruk tidak ada sama sekali."Ada juga instansi pemerintah yang menghabiskan anggaran sampai miliaran rupiah untuk biaya perjalanan dinas. Tetapi tidak ada satu pun program untuk kesehatan ibu dan anak pada instansi yang mengurus kesejahteraan masyarakat tersebut. Padahal, setiap tahun jumlah anggaran yang dikelola Pemprov NTT bersama 20 pemkab/pemkot mencapai Rp 7 triliun yang bersumber dari dana alokasi umum, dana alokasi khusus dan bantuan pihak ketiga. Pertanyaannya adalah dana triliunan rupiah ini mengalirnya ke mana?" ujar Lery.Wakil Ketua DPRD NTT Kristo Blasin yang dihubungi terpisah mengakui kebijakan anggaran untuk penanganan gizi buruk sangat rendah. "Mungkin karena sebagian energi masyarakat dicurahkan untuk mengurus Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur serta pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di sebagian besar kabupaten," kata Blasin.Untuk kepentingan pelaksanaan pemilihan gubernur, menurut Blasin, pihaknya mengalokasikan dana sebesar Rp 100 miliar. "Sedangkan untuk penanganan masalah gizi hanya Rp 2 miliar, dengan harapan pemerintah pusat dan kabupaten kota dapat mengalokasikan dana yang lebih besar," katanya.Meningkatnya korban tewas akibat krisis gizi dalam enam bulan terakhir, menurut Blasin, membuktikan bahwa koordinasi antar lembaga teknis maupun antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota tidak berjalan dengan baik.Jems de Fortuna