TEMPO Interaktif, Surabaya:Ketua Tim Kasus Lumpur Lapindo Komnas HAM, Syafruddin Ngulma Simeulue, meminta ketegasan pemerintah dalam penanganan kasus lumpur Lapindo. Jika pemerintah tetap mengacu pada Peraturan Presiden No. 14/2007, pemerintah justru melakukan pelanggaran HAM."Perpres tersebut melangar HAM. Dengan Perpres tersebut, pemerintah menghilangkan hak warga atas tanah dan sumber-sumber kehidupan mereka," katanya ketika dihubungi Tempo, hari ini.Dengan dasar Perpres, menurut Syafruddin, PT Lapindo Brantas Inc, melalui juru bayarnya PT Minarak Lapindo Jaya, dalam kenyataannya mempraktekkan proses jual-beli. "PT Minarak membeli tanah warga, bukan memberi ganti rugi," katanya.Dari proses pembelian itulah, lahir skema uang muka 20 persen dan sisanya 80 persen dibayar kemudian. Padahal, warga tidak pernah berencana atau berniat menjual tanahnya. Warga terpaksa meninggalkan tanah, rumah, beserta warisannya karena ditenggelamkan lumpur Lapindo.Seperti diberitakan Koran Tempo, berkaitan dengan hasil kerja tim DPR, Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bkarie, mengatakan pemerintah tetap berpatokan pada Perpres No. 14/2007. Sebaliknya Komnas HAM justru mendesak Presiden agar segera mencabut Perpres tersebut dan menggantinya dengan peraturan lain yang menjamin terpenuhi dan terpulihkannya semua hak korban lumpur Lapindo.Perpres itu juga dinilai memperlakukan warga korban secara diskriminatif, karena yang dilayani PT Lapindo melalui PT Minarak sebagai juru bayar hanya desa-desa yang tercantum dalam peta terdampak. Padahal, akibat semburan lumpur yang terus terjadi, wilayah genangan terus meluas yang hingga saat ini meliputi tujuh desa."Pemerintah membiarkan penderitaan warga koban di desa-desa di luar peta terdampak tanpa skema penanggulangan yang jelas, tidak melakukan tindakan yang tegas dan sungguh-sungguh untuk melindungi, memenuhi dan memulihkan hak-hak warga. Ini juga bentuk lain pelanggaran HAM," kata Syafruddin.Jalil Hakim