TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Joko Widodo mengajak media memerangi penyebaran berita bohong atau hoax. Menurut Jokowi, berita bohong dapat memecah belah persatuan karena pemberitaannya merujuk pada kebencian dan fitnah. “Stop berita bohong, berita yang memecah belah harus dihadapi,” ujarnya saat membuka hari pers nasional di Ambon, Kamis, 9 Februari 2017.
Fenomena berita bohong atau hoax, menurut Jokowi, juga banyak dikeluhkan kepala negara lain. Mereka menilai keberadaan media sosial sulit dibendung media mainstream.
”Ini yang saya dengar dari perdana menteri, dari presiden yang saya temui. Semuanya mengeluhkan. Kalau media mainstream itu masih bisa kita ajak berkomunikasi, masih bisa diajak bicara. Tapi kalau media sosial, siapa yang bisa memagari?” ujar Jokowi.
Bukan hanya di Indonesia, fenomena hoax juga terjadi di sejumlah negara, seperti Jerman dan Amerika. “Jadi, bukan hanya Indonesia yang menghadapi, seluruh negara mengalami. Tapi saya yakin, meski digempur, media mainstream tidak akan hilang,” kata Jokowi.
Baca: Paus Fransiskus: Baca Berita Hoax Ibarat Makan Kotoran
Menurut Jokowi, media mainstream seharusnya dapat menyaingi gempuran hoax di media sosial. Alasannya, informasi tersebut terus-menerus diperbarui dan tidak hanya mementingkan kecepatan, tapi juga berita tak akurat.
Dalam memerangi berita bohong, kata Jokowi, media mainstream sebagai alat komunikasi publik dapat mengedepankan profesionalitas ataupun etika dalam kerja-kerja jurnalistik.
”Media mainstream seharusnya mampu meluruskan hal yang bengkok, menjernihkan kekeruhan, tidak ikut arus memungut berita dari media sosial,” katanya.
Baca: Begini Kiat Facebok Mengatasi Hoax
Penyebaran berita hoax melalui situs media sosial membuat resah pemerintah. Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki mengatakan pemerintah akan menindak tegas pemilik akun media sosial atau situs berita yang menyebar berita bohong (hoax). Fenomena media sosial belakangan ini telah menjadi ajang fitnah.
”Media sosial bukan lagi sebagai sarana komunikasi yang positif,” kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat, 30 Desember 2016.
Pemerintah pun berupaya menjadikan media sosial di Indonesia menjadi lebih ramah. Teten membantah anggapan bahwa kebijakan itu sebagai antikritik. Menurut dia, mesti dibedakan antara mengkritik dan menghasut.
RERE KHAIRIYAH | ADITYA BUDIMAN