TEMPO.CO, Jombang - Istri almarhum Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid, mengingatkan semua kalangan bisa menahan diri dan tidak mudah terprovokasi. Saat menghadiri acara Imlek 2568 dengan puluhan umat beragama di rumah pribadinya di Jalan Juanda Jombang, Jawa Timur, Minggu, 5 Februari 2017, Sinta mengatakan masyarakat harus berhati-hati, terutama menyangkut situasi konfrontatif politik sekarang. Sinta mendengarkan curahan hari sejumlah warga Tionghoa.
Sinta mewanti-wanti agar setiap orang bisa menahan emosi dan tidak terprovokasi. "Jangan sampai bersikap frontal. Harus tabayyun (mencari kejelasan, red) dulu," kata Sinta sambil menambahkan bahwa warisan pluralisme Gus Dur (panggilan Abdurrahman Wahid) saat ini mendapat tantangan luar biasa. Kepentingan politik begitu menonjolkan kebencian, jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa.
Baca: Pemikiran Toleransi ala Gus Dur Masih Dibutuhkan
Setiap perbedaan, menurut Sinta, perlu dihormati dan jangan sampai membuat bangsa ini semakin terpecah belah. Bahkan, sebelum meninggal dunia, Gus Dur mewanti-wanti agar persatuan dan kesatuan bangsa didahulukan.
Willy Sugianto, sesepuh Tionghoa Jombang, mengatakan peran Gus Dur dalam dinamika etnis Tionghoa Indonesia juga sangat besar. Pada zaman Gus Dur, banyak regulasi diputuskan, salah satunya terkait dengan diskriminasi. "Pada era Presiden Abdurrahman Wahid berbagai regulasi diskriminatif dicabut. Belenggunya dibuka. Tionghoa berhutang banyak pada Gus Dur," terang pria yang juga berprofesi sebagai dosen itu.
Imlek tahun ini, lanjut Willy, dilaksanakan dalam suasana Indonesia yang penuh dengan intrik politik yang berpotensi memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. Ia berharap, hal itu tidak memecah persatuan dan kesatuan bangsa.
Simak Ini:
Gus Dur, Toleransi dan Ahok
Suster Margaretha dari pemeluk Katolik Jombang, menambahkan jasa Gus Dur bagi demokrasi Indonesia juga sangat besar. Bahkan, kelompok yang selama ini tertindas mendapat pembelaan dari Gus Dur. Dia berharap peristiwa kelam masa lalu tersebut tidak lagi terjadi. "Saya punya banyak teman dengan pengalaman buruk selama Orde Baru, maupun Peristiwa 1965," kata suster senior ini.
Panitia acara ini, Aan Anshori, mengatakan kegiatan ini digelar dengan harapan bisa mendorong meningkatnya kesadaran akan pentingnya menjaga keragaman di Tanah Air.
"Kami ingin publik mengetahui pentingnya menjaga keragaman yang ada. Karena bagaimanapun, sejarah peradaban Indonesia tidak bisa dilepaskan dari kontribusi etnis Tionghoa," kata Aan.
Acara ini diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama, sambutan, dan diakhiri dengan doa bersama enama tokoh agama lalu ditutup dengan menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dan Padamu Negeri.
ANTARA