TEMPO.CO, Pontianak - Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Aruf mengatakan pihaknya tengah menyelidiki permainan harga cabai karena terdapat ketidakwajaran dalam rantai distribusi komoditas cabai di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat.
"Kami menyelidiki rantai distribusi cabai karena terlalu panjang dari petani sampai konsumen akhir. Biasa tiap pos yang membuat guliran harga cabai dari petani ke pasar menjadi kian besar," ujarnya di Pontianak, Senin, 23 Januari 2017.
Baca juga:
Jokowi: Fluktuasi Harga Cabai Karena Pasokan Buruk
Harga Cabai Rawit di Sorong Setara Ponsel Murah Meriah
Syarkawi merincikan, harga cabai di tingkat petani sekarang hanya sekitar Rp 35 ribu per kilogram. Tapi, karena setiap pos rantai distribusi ada kenaikan harga, di masyarakat harga cabai bisa tembus Rp 120-130 ribu per kg.
Dari petani dijual ke pengepul. Pengepul menjualnya ke bandar di desa. Bandar cabai di desa menjual ke bandar cabai di pasar-pasar induk. Di pasar induk, pedagang menjualnya ke agen. "Dari agen, baru ke retailer, pedagang kios, atau toko yang menjual ke end user," tuturnya.
Dalam hal itu, yang paling diuntungkan dalam rantai distribusi tersebut adalah bandar pasar induk. "Sebagai contoh, di salah satu pasar induk terbesar di Jakarta, hanya ada tiga bandar. Persaingan yang tidak sempurna ini membuat timbulnya kemungkinan terjadinya kongkalikong harga. Petani sendiri tidak terlalu merasakan dampak kenaikan harga ini," kata Syarkawi.
Dengan kondisi yang ada, pihaknya sedang menyelidiki indikasi permainan harga tersebut di berbagai daerah se-Indonesia. Jumlah rantai distribusi di setiap daerah berbeda-beda.
"Meski distribusi di daerah beda, polanya sama saja, yakni yang paling leluasa menentukan harga adalah bandar di pasar-pasar induk," ucapnya.
Di sisi lain, kenaikan cabai saat ini, ujar dia, didorong oleh menurunnya produksi akibat cuaca buruk.
"Pascanatal, memang harga cabai naik karena gagal panen akibat cuaca buruk. Di Jawa, sekitar 30 persen gagal panen. Sedangkan di Kalimantan lebih banyak, yaitu 50 persen. Tapi, karena produksi di Jawa sangat dominan dan dikirim ke berbagai pulau lain, jadi kenaikan di Jawa-lah yang mempengaruhi paling besar," ujarnya.
Hanya saja, menurut hitung-hitungan pihaknya paling tinggi, kenaikan harga cabai rawit di tingkat konsumen akhir tidak semahal yang terjadi sekarang.
"Kita sudah menghitung. Penurunan produksi 30 persen ini memang mau tidak mau membuat harga naik. Tapi paling tinggi sekali itu hanya Rp 90 ribu per kilogram di end user. Jadi yang terjadi sekarang kemahalan," tuturnya.
ANTARA
Simak: Kapal Pengangkut TKI Tenggelam, Dua Orang Selamat